Sunday, December 30, 2007

Membaca Djenar, Menonton Djenar


Saya mendatangi Gala Premiere film ini tanpa berharap apa-apa. Saya hanya mendatangi peluncuran sebuah film yang dibuat sahabat saya dan sekaligus pengarang favorit saya. Memang, sebagai pengarang karya seorang Djenar Maesa Ayu sudah tidak perlu diragukan. Meskipun telat memulainya, at the moment I read her first book, suddenly I felt in love with her short stories. Tetapi sebagai sutradara? Wah, saya tidak ingin mempertaruhkan selera untuk seorang sutradara debutan.

Mengikuti menit demi menit alur film ini. Saya mulai menumbuhkan kesukaan saya terhadap film ini. Storytelling-nya yang unik, elaborasi dan eskalasi konflik, perspektifnya, metafor-metafor yang digunakan dan plot twist di ujung film. Semuanya sangat menarik dan membangkitkan minat. Soal cerita (yang saya kira akan jadi keunggulan utama Djenar) meskipun menarik ternyata malah bukan daya tarik utama, karena memang diangkat dari dua cerpen yang sudah diterbitkan sebelumnya. Penonton disuguhi cerita yang sudah mereka tahu lewat bukunya, tapi tetap terpikat untuk menyaksikan kelanjutannya.

Yang paling menarik adalah Djenar menemukan bahasanya filmnya sendiri untuk berkomunikasi dengan penonton. Djenar berhasil menjabarkan premis, logika dan membangun metafor-metafor (serta menerjemahkannya pada penonton) lewat gaya bertutur khasnya sendiri. Menurut saya, hal ini murni hasil kreativitas Djenar dan tidak merujuk atau mengadopsi gaya-gaya tuturan yang sudah ada sebelumnya (terutama di film-film Barat). Bagi saya, menonton film ini persis semenarik membaca buku-buku Djenar.

Memang masih ada ketidaksempurnaan di sana-sini. Pengadeganan tampak masih terbata-bata, beberapa pemain pun tampak kurang menjiwai peranannya. Aktingnya juga agak kurang konsisten seperti Titi Sjuman yang masih suka turun naik eksotismenya. Beberapa pemain vital tampak kurang tepat dengan karakter yang dimainkan. Henidar Amroe misalnya, dia berakting sangat bagus, tetapi sejak awal film dia sudah tampak terlalu tua dan tidak bertambah umur saat semakin tua. Spirit kedivaannya pun kurang muncul, coba kalau Krisdayanti, Kinaryosih atau Titi DJ yang memerankannya, pasti jauh lebih masuk pada karakternya. Yang paling parah sih Arswendo Atmowiloto, duh! Kenapa tidak menggunakan aktor profesional saja sih untuk peran sekecil itu. Dalam soal casting, saya menangkap kesan kalau Djenar ingin memirip-miripkan pemainnya dengan "dirinya". Walaupun hal itu dibantahnya sendiri di akhir cerita.

Semua bisa termaklumkan karena ini memang film independen ber-budget terbatas. Andaikan film ini didukung modal yang kuat, pasti hasilnya akan jauh lebih bagus lagi. Dengan begini saja, saya sudah bisa keluar dari bioskop dengan sangat puas. Sayang sekali, film ini hanya akan diputar di sedikit bioskop saja, jaringan Blitz Megaplex. Jadi untuk kota-kota yang tidak memiliki jaringan Blitz Megaplex, sebaiknya menghubungi Intimasi Production kalau ingin mengadakan special screening.


Seorang sutradara hebat baru saja lahir di negeri kita. Semoga karya-karya besarnya masih akan terus bergulir membanjiri bioskop kita. Semoga semakin banyak kasus Hanung Brahmantyo, Joko Anwar atau Djenar Maesa Ayu di negeri kita. Orang-orang yang mampu memikat kita di dalam bioskop sejak karya pertamanya.

Wednesday, September 19, 2007

ASAL MUASAL 4


"INDONESIA"
(Sumber: Milis Wartawan Gaul)






PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama.

Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai *Nan-hai* (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini *Dwipantara* (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta *dwipa* (pulau) dan *antara* (luar, seberang).

Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke *Suwarnadwipa* (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita *Jaza'ir al-Jawi* (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah *benzoe*, berasal dari bahasa Arab *luban jawi*(kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon *Styrax sumatrana* yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra.

Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (*Indische
Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien*) atau "Hindia Timur" *(Oost Indie, East Indies, Indes Orientales)* . Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (*Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais*).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah *Nederlandsch- Indie* (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah *To-Indo* (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu *Insulinde*, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin *insula* berarti pulau). Tetapi rupanya nama *Insulinde* ini kurang populer. Bagi orang Bandung, *Insulinde* mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari *Jawadwipa*( Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, *"Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" *(Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).

Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, *Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia* (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel *On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations*. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (*a distinctive name*), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama:
*Indunesia*atau *Malayunesia* (*nesos* dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71
artikelnya itu tertulis: *... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.*

Earl sendiri menyatakan memilih nama *Malayunesia* (Kepulauan Melayu) daripada *Indunesia* (Kepulauan Hindia), sebab *Malayunesia* sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan *Indunesia* bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah *Malayunesia* dan tidak memakai istilah *Indunesia*.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel *The Ethnology of the Indian Archipelago. * Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama *Indunesia* yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: *Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. *

Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku *Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel* sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke
tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang mempopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam *Encyclopedie van Nederlandsch- Indie*tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah
"Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama *Indonesische Pers-bureau. *

Makna politis

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa *Handels Hoogeschool* (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama *Indische Vereeniging* ) berubah nama menjadi *Indonesische Vereeniging* atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (*de toekomstige vrije Indonesische staat*) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli.

Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (*een politiek doel*), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (*Indonesier*) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. "

Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan *Indonesische Studie Club*pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 *Jong Islamieten Bond* membentuk kepanduan *Nationaal Indonesische Padvinderij* (Natipij) . Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal
28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota *Volksraad* (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch- Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.

Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

ASAL MUASAL 3





"RAGUNAN"
(Sumber: Milis Wartawan Gaul)






Nama Ragunan diyakini berasal dari nama Tumenggung Wiraguna yg makamnya terdapat di perempatan Republika, Mampang, Kemang dan Pejaten..di dekat sungai kecil dan jembatan.

Tokoh dalam cerita legenda Rara Mendut-Pranacitra. Ringkasan ceritanya sebagai berikut. Didaerah Kadipaten Pati tinggal seorang gadis desa cantik jelita bernama Mendut. Ketika wilayah Pati dikuasai Mataram, banyak harta kekayaan diangkut ke Mataram. Gadis Mendut atau yang kemudian disebut Rara Mendut pun menjadi boyongan Tumenggung Wiraguna, Senapati Mataram. Tumenggung Wiraguna jatuh cinta pada Rara Mendut. Ia berusaha untuk mempersuntungnya. Rara Mendut tidak menanggapinya dengan alasan :

(1). Tumenggung Wiraguna adalah Senapati Praja yang dengan sendirnya menjadi pengayom semua rakyat, dan (2). Rara Mendut talah mempunyai pilihan seorang pemuda desa yang sangat tampan, Pranacita. Hubungan asmara Rara Mendut dengan Pranacita menjadikan Wiraguna sangat bernafsu bercampur malu. Berbagai upaya keji untuk memisahkan hubungan keduanya. Wiraguna membuat rekayasa keji untuk menghabisi nyawa Pranacita. Rencana keji itu terlaksana. Jenazah Pranacita dikebumikan di tempat terpencil di hutan Ceporan, Desa Gandhu, lebih kurang 9 Km sebelah timur Yogyakarta.

Setelah Pranacita meninggal ternyata Wiraguna pun tidak berhasil memaksakan keinginannya untuk mempersunting Rara Mendut. Tumenggung Wiraguna semakin mendesak. Rara Mendut tetap tidak mau melayaninya. Akhirnya ia melarikan diri ke pemakaman Pranacita dan bunuh diri disamping pusara kekasihnya, Pranacita. Jenazah Rara Mendut dikebumikan menjadi satu liang lahat dengan kekasihnya. Makam Rara Mendut – Pranacita yang legendaris itu di Gandhu ini sekarang sering dipakai sebagai tempat ziarah bagi muda – mudi, dewasa, dan para pedagang.

Pada tahun 1677, Raja Mataram mengirim pasukan ke Batavia utk menaklukan VOC. Panglima perang nya pun dikerahkan yg bernama Tumenggung Wiraguna. Nah kemudian Tumenggung ini mengalami kekalahan sewaktu membawa ratusan prajurit ke wilayah dekat pasar minggu...lalu beliaupun terbunuh dan dimakamkan di situ..maka dibuatlah nama Ragunan dari nama Wiraguna.

ASAL MUASAL 2






"BETAWI"
(Sumber: Milis Wartawan Gaul)





Ada dua versi yang menjelaskan mengenai asal muasal istilah Betawi. Versi pertama menyebutkan bahwa nama Betawi berasal dari pelesetan nama Batavia. Nama Batavia berasal dari nama yang diberikan oleh J.P Coen untuk kota yang harus dibangunnya pada awal kekuasaan VOC di Jakarta. Kota Batavia yang dibangun Coen itu sekarang disebut Kota atau Kota lama Jakarta. Karena asing bagi masyarakat pribumi dengan kata Batavia, maka sering dibaca dengan Betawi.

Versi kedua menyebutkan bahwa nama Betawi mempunyai sastra lisan yang berawal dari peristiwa sejarah yang bermula dari penyerangan Sultan Agung (Mataram) ke Kota berbenteng , Batavia. Karena dikepung berhari – hari dan sudah kehabisan amunisi, maka anak buah (serdadu) J.P. Coen terpaksa membuat peluru meriam dari kotoran manusia Kotoran manusia yang ditembakkan kepasukan Mataram itu mendatangkan bau yang tidak sedap, secara spontan pasukan Mataram yang umumnya adalah orang Jawa berteriak menyebut mambu tai….., mambu tai. Kemudian dalam percakapan sehari – hari sering disebut Kota Batavia dengan kota bau tai dan selanjutnya berubah dengan sebutan Betawi.

ASAL MUASAL




"SUMATERA"
(Sumber: Milis wartawan gaul)







NAMA ASLI pulau Sumatera, sebagaimana tercatat dalam sumber-sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, adalah “Pulau Emas”. Istilah pulau ameh kita jumpai dalam cerita Cindur Mata dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat Lampung tercantum nama tanoh mas untuk menyebut pulau mereka yang besar itu. Seorang pelaut dari Cina yang bernama I-tsing (634-713), yang bertahun-tahun menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut pulau Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti “negeri emas”.

Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Naskah Buddha yang termasuk paling tua, Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana dikisahkan pencarian Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa.

Para musafir Arab menyebut pulau Sumatera dengan nama Serendib (tepatnya: Suwarandib), transliterasi dari nama Suwarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang mengunjungi Sriwijaya tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya terletak di pulau Suwarandib. Cuma entah kenapa, ada juga orang yang mengidentifikasi Serendib dengan Srilanka, yang tidak pernah disebut Suwarnadwipa!

Di kalangan bangsa Yunani purba, Pulau Sumatera sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai. Mungkin sekali negeri yang dimaksudkan adalah Barus di pantai barat Sumatera, yang terkenal sejak zaman purba sebagai penghasil kapur barus.

Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, yang artinya ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang dari daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi tanah air kita, terutama Sumatera. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun sudah menjajakan komoditi mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, sebagaimana tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi.

Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan beliau. Emas itu didapatkan dari negeri Ophir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).

Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah itu? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera! Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya Nabi Sulaiman a.s.

Lalu dari manakah gerangan nama “Sumatera” yang kini umum digunakan baik secara nasional maupun oleh dunia internasional? Ternyata nama Sumatera berasal dari nama Samudera, kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang pernah disebut Borneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis. Memang orang Eropa seenaknya saja mengubah-ubah nama tempat. Hampir saja negara kita bernama “Hindia Timur” (East Indies), tetapi untunglah ada George Samuel Windsor Earl dan James Richardson Logan yang menciptakan istilah Indonesia, sehingga kita-kita ini tidak menjadi orang “Indian”! (Lihat artikel penulis, “Asal-Usul Nama Indonesia”, Harian Pikiran Rakyat, Bandung, tanggal 16 Agustus 2004, yang telah dijadikan salah satu referensi dalam Wikipedia artikel “Indonesia”).

Peralihan Samudera (nama kerajaan) menjadi Sumatera (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pardenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.

Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau Samatrah. Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama Camatarra. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama Samatara, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama Samatra. Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu Camatra, dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya Camatora. Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak ‘benar’: Somatra. Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: Samoterra, Samotra, Sumotra, bahkan Zamatra dan Zamatora.

Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah kita: Sumatera

Thursday, September 06, 2007

Which Entourage Character Are You?



Which Entourage Character Are You?

You are Eric. You are the executive, the suit. You know what the grand strategy is, you understand what is needed of you, and you execute. Most people tend to underestimate you, but you deliver quite a surprise. Your hard work and natural abilities provide you with the confidence to step up to the plate when it is required of you. Although you aren't the All-Star of the group, you are the Manager entrusted with confidently calling the shots.
Find Your Character @ BrainFall.com

Which Friends Character Are You?



Which Friends Character Are You?

You are part Rachel. You're very selfish and pay great attention to image. Spoiled when you were young, you were always the popular and snobbish kid. Although you hang on to your adolescent attributes, you grow more responsible every year.
You are part Phoebe. You're the weird kid with odd habits. Most people don't know it, but you're kinky in bed. Your childhood memories aren't your best, but why do you care? There's plenty of time to make up for your lost childhood now that you're an adult.
Find Your Character @ BrainFall.com

Monday, September 03, 2007

The Soul Exists!

"It would be wrong to say that the soul is an illusion, or an ideological effect. On the contrary, it exists, it has reality, it is produced permanently around, on, within the body by the functioning of power that is exercised on those punished—and in a more general way, on those one supervises, trains and corrects over madmen, children at home and at school, the colonized, over those who are stuck at a machine and supervised for the rest of their lives."

Discipline & Punish: The Birth of the Prison (1975: 29)
Michel Foucault

Saturday, September 01, 2007

well..



From: Wulan's Story

Their words are only make believe
'cause even perfection bleeds
through crackled imagery
The terrifying feeling
when all good intentions fail
(Amandine, For All Marbles)


History always has its classic part, something considered as a benchmark. It might not be repeated in the same way though but the substance remains the same. We call it as a more humane way. Let’s say that in the so-called primitive era, people used to sacrifice the weak human being like baby or somebody’s daughter to worship invisible power, paying homage to a nowhere ancestors. In a more modern way, we might refer to what happened to Marie Antoinette ..well this might not be a compatible reference but we all remember her as a genuine spoiled brat ever existed. We seldom remember how she lost her life once her mother trapped her in an arranged marriage. It was a huge crisis and people needed someone to blame for what happened. She had become an evil icon, satanic version of human, an over-indulgent-woman who had an endless desire to please herself. The fact that it was her only way to escape from reality, as people around her felt that they owned her body, thought and life as a whole has been considered merely a drama, a sparkle of spice powder to bring some taste to a juicy story. Nobody has ever thought it as a point that mattered most. The day she was sent to guillotine, people clapped their hands. The day she was beheaded off was a symbolic celebration to end a collective misery of people.

So what’s the lesson of this?

I have learned since then that every difficult situation requires someone to blame and to point finger at. Everyone claims that they have been hurt. Too bad, they do not even bother to know that I also get hurt as much as they do. Someone asked me how I feel, if only I could express it verbally, I would tell out loud how I feel like having bruises all over my body, badly battered, feeling that the world has turned against me and shattered.

I know how it feels to be so dependent, indecisive not because I could not make up my mind but I lived under one’s control and property and homeless. I just never thought that my life could be so annoying for others. Well then people are manipulative. In order to feel right, they make others feel guilty. In order to feel good, they make others feel bad. It’s a primitive game yet an everlasting one. People sacrifice someone to make them look as if they were the better ones. I might owe much to people I have met and spent time with along my life, I just know that I will find a way to pay back my debt but not with my life. Another lesson is that we do not have to be bad to be considered bad and we do not have to be cruel to be considered cruel. People, again, happily put those stamps in our faces once we dare to refuse to be part of automaton conformity. Just wanna break free and disappear....

Tuesday, August 28, 2007

Kepala Tiga











Menjalani 2 x 24 jam pertama berkepala tiga, belum banyak hal baru yang gw rasakan. Kaki gw seperti masih terantai di masa lalu. Gw masih menghadapi masalah yang itu-itu juga. Well, ternyata benar, age is just number. Banyak hal yang gw rencanakan. Banyak idealisasi yang berusaha gw wujudkan, tetapi kayanya semua masih semu. Masih jauh banget rasanya dari sebuah dermaga tempat berlabuh dalam perjalanan mencari jati diri. Padahal sudah usia begini tua... Hahaha... It's a heck of a place to find yourself.

Sebenarnya gw sudah paham bahwa bagaimanapun bukan apa yang tersimpan di lapisan kognisi gw itu nggak ada artinya. Seperti kata Rachel Dawes di Batman Begins, "It's not who I am underneath, but what I do that defines me."

Jadi masalah besarnya adalah di diri gw sendiri. Gw harus mampu membangun something that will define me. Sudah nggak cukup cuma membangun pemahaman dan pemikiran, sekarang waktunya bertindak. Sementara rutinitas sudah mengikat kaki gw dan melahirkan keterbatasan baru. Gw sekarang harus berani mendobraknya. I cannot blame it on my youth lagi. I'm no longer twentysomething and I have to prove it.

Entah kenapa gw sangat menganggap besar perkara memasuki kepala 3 ini. Gw merasa bahwa gw sangat ketinggalan dari apa yang seharusnya. Sampai hari gini, gw masih krisis prestasi. Ada sesuatu yang jelas-jelas butuh perspektif baru dari dalam diri gw. Perspektif yang lebih condong ke action. Sesuatu yang akan membuat gw akan lebih ada. There must be some easier way for me to get my wings.

Saturday, August 25, 2007

The Flaming Cake









I would like to write something on the last couple hours of my 20s. Finally, here is the end of my youth and the dawn of a new era. Maturity, is it?

I am a poet only for a few moments. My tale will be over in a few moments. My laughter lasts only for a few moments. My youth will end in a few moments. I am a poet only for a few moments. Many poets came and went before me. Some left sighing. And some left singing, Their story only lasted a few moments. I too will only live a few moments. Tomorrow I will be taken from you, But for today, I am yours. I am a poet only for a few moments. Tomorrow new tunes will arrive, like freshly bloomed flowers to be plucked. There will be better storytellers than me, and better listeners than you. Tomorrow, someone might remember me... But why should anyone remember me? For my sake, why should this busy world waste its time? I am a poet only for a few moments...

When all the Friends were expecting Rachel's 30th birthday, everybody's trying to remember how they were turning 30 (somehow, Phoebe actually missed her 30th birthday, and she found out about it, a year later on her 31st birthday). Nevertheless, the reaction was all rejection inside each one of them. They contained with the feeling of unsafe, incompetent, immaturity, lack of achievement, the fear about what will happen, and identity crisis. End of the story, they all turned out to be just fine. Otherwise, the status of thirtysomething, has taught them many lesson and opened many doors.

Well, now I am in an indifferent position. The shadow of doubt about what will come next haunts my last couple hours of 20s and resulted in a mild nervous breakdown. Sometimes I hope that my 20s will last forever and I think age is a very high price to pay for maturity. And I admit that I'm not ready. Ooo God, nooooooo.... (I was imagining Joey, when I wrote this line).

Yes, I have lost much, endured much, sacrificed greatly and I cling to the memory of my sacrifices of all the things I have lost or left behind. They drag behind me like chains of my own making. They can have a terrible power over me, the power of grief, and loss, and of regret. Yes, I can let go of the people, places and things, but I have not let go of the pain. I not forgiven myself.

People said that the trick is to keep moving forward, to let go of the fear and the regret that slow us down and keep us from enjoying a journey that will be over too soon. Yes, there will be unexpected bends in the road, shocking surprises we didn't see coming... but that's really the point, don't you think? There's nothing I can do. It is something that I have to face it, whether I like it or not. Maybe, I can make a small notion on what have I gone through.

First, I'd like to tell today's youth that no matter where life takes you, big cities, small towns - I started being twenty at Jatinangor (a small campus city at the southwest of Sumedang) and ended it supposedly at Blitz Megaplex Grand Indonesia, at the very heart of Jakarta -, you'll inevitably come across small minds. People who think that they're better than you are. People who think that material things, or being pretty or popular automatically makes you a worth while human being. I'd like to tell today's youth that none of these things matter unless you have strength of character, integrity, sense of pride, and if you're lucky enough to have any of these things... don't ever sell them. Don't ever sell out. So when you meet a person for the first time, please don't judge them by their station on life, because, who knows, that person just might end up being your best friend.

Secondly, when you're a victim, that's everything. Stick with it out. At least until you solve your first. And after that, if you don't feel like King Kong on cocaine, then you can quit. But if you stay, with my right hand to God, you will never regret it.

Third, good things aren't always what they seem. Too much of anything, even love, is not always a good thing. When you were a kid, it was Christmas candy. You hid it from your parents and you ate it until you got sick. In college, it was the heavy combo of youth, tequila and well, maybe some forbidden ecstasy. You take as much of the good as you can get, because it doesn't come around nearly as often as it should. You will never imagine that it will lead you to something really... really bad.

Earlier this day, my mother called my cell phone. She tried to give me some strength after my sister told her about my mild nervous breakdown. Amazingly, she said,"If you're feeling frightened about what comes next... don't. Embrace the uncertainty. Allow it to lead you places. Be brave as it challenges you to exercise both your heart and your mind as you create your own path towards happiness. Don't waste time with regret. Spin wildly into your next action. Enjoy the present - each moment as it comes - because you'll never get another one quite like it. And if you should ever look up and find yourself lost, simply take a breath and start over. Retrace your steps and go back to the purest place in your heart, where your hope lives. You'll find your way again... You gotta embrace your inner freak. 'Cause the only thing you'll regret is denying who you really are."

Oh my sweet ma. Now, I hope that everything is gonna be just fine...

HAPPY BIRTHDAY TO ME

Friday, August 17, 2007

Indonesia Raya

Finally found it!
The whole discovering the original Indonesian anthem bonanza.
Facts: it's not new, people already knew about it, and Roy Suryo (SOH) did not "discover" it.

Thursday, July 12, 2007

Wafatnya Seorang Pejuang










Turut berduka cita atas wafatnya Taufik Savalas.


Dunia telah kehilangan seorang pribadi yang sangat bersahaja, pejuang hidup yang penuh teladan. Semoga amal dan ibadah almarhum dapat menjadi bekalnya menghadap Sang Khaliq. Semoga keluarga, rekan dan penggemar yang ditinggalkan oleh almarhum, dilimpahi dengan ketabahan dan kekuatan menghadapi cobaan.


Gw bukan orang yang mudah menerima berita duka cita, terutama dari orang-orang yang gw kenal. Kematian adalah sosok asing yang bisa datang menyelinap tanpa tanda-tanda terlebih dahulu. Saat terakhir bertemu, Taufik bercerita perihal keasikannya saat ini, bercumbu dengan Tuhan. Nampaknya, percumbuan itu berlangsung begitu romantis, sehingga Sang Khaliq pun memanggil pecintanya untuk lebih dekat dengan-Nya.

Taufik telah memberi sinar begitu terang bagi orang-orang yang mengenalnya. Ketulusan, kerendahan hati, perjuangan, kerja keras, integritas dan kejujuran. Jasad Taufik mungkin tak bisa lagi hadir di tengah-tengah kita - menghibur kita dan membuat kita tertawa, tetapi teladan yang diberinya akan tetap hidup di pikiran dan hati orang-orang yang mengenalnya.

Selamat Jalan Pak Presiden. Selamat Jalan, Taufik Savalas. Doa kami menyertaimu.

Monday, July 09, 2007

Gloomy Sunday












Sunday is gloomy,
My hours are slumberless
Dearest the shadows
I live with are numberless
Little white flowers
Will never awaken you
Not where the black coaches
Sorrow has taken you
Angels have no thoughts
Of ever returning you
Wouldnt they be angry
If I thought of joining you?

Gloomy sunday

Gloomy is sunday,
With shadows I spend it all
My heart and i
Have decided to end it all
Soon therell be candles
And prayers that are said I know
But let them not weep
Let them know that Im glad to go
Death is no dream
For in death Im caressin you
With the last breath of my soul
Ill be blessin you

Gloomy sunday

Dreaming, I was only dreaming
I wake and I find you asleep
In the deep of my heart here
Darling I hope
That my dream never haunted you
My heart is tellin you
How much I wanted you
Gloomy sunday

Thursday, June 28, 2007

CIPRAT










Ciprat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti memercik ke mana-mana. Bahasa Inggrisnya adalah to splash, yang artinya cause (liquid) to strike or fall on something in irregular drops. Jadi sebenarnya yang namanya ciprat itu pasti berhubungan sama sesuatu yang cair. Well, kalau rezeki atau popularitas dikatagorikan sebagai cairan, maka bisalah kita kecipratan rezeki atau kecipratan popularitas.

Kecipratan rezeki atau popularitas memang enak. Kita bisa mendapatkan fasilitas atau akses terhadap sesuatu yang tidak kita usahakan. Kecipratan dalam makna literal bisa jadi enak juga. Misalnya kecipratan air mineral saat sedang mengikuti lomba marathon 10 K, seperti dua minggu lalu.

Tetapi yang pagi ini menyiprati gw bukan hal yang menyenangkan. Sejak tadi malam, Jakarta memang diguyur hujan bulan juni. Well, nggak ada salahnya sih dengan hujan bulan juni. Meskipun dianggap menyalahi musim, tetapi gw malah menikmatinya sebagai hal yang romantis, seperti dalam puisi Sapardi Djoko Damono atau lagunya Mbak Reda Gaudiamo yang diangkat dari puisi yang sama.

Kembali ke soal kecipratan. Karena sudah diguyur hujan sejak tadi malam, maka tidak heranlah Jakarta yang vulnerable ini langsung basah kuyup di segenap sisi jalannya. Tak jarang tampak air meluap dari selokan-selokan hitamnya atau menggenangi lubang-lubang jalannya. Pemandangan ini tidaklah ekslusif milik kampung-kampung urban yang berserakan di Jakarta, tetapi juga milik jalan-jalan protokol seperti Jl. HR. Rasuna Said tempat gw bermukim dan berkantor ini.

Di tengah hujan deras yang masih mengguyur, namun didorong oleh semangat baru untuk menjadi pribadi yang lebih baik, gw menembus rinai hujan dan berangkat nge-gym jam 6.30 pagi. Sialnya, ketika melewati belakang gedung Femina di dekat kost, sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang eksekutif muda nirotak ngebut dan menggilas lubang berisi air itu. Kontan saja, a whole lot of mud splashed to my body, my shorty, and my shoes. Gw langsung saja berteriak, "You fucking shithead! Get off your car, now!" Tetapi tentu saja teriakan itu nggak ada gunanya sama sekali. Sang eksekutif muda tanpa otak itu tetap saja melaju dalam kenyamanan SUV car miliknya. Dalam hati gw cuma bisa memaki, "Screw you!!! Mudah-mudahan kena batunya."

Setelah, terciprat begitu, gw nggak mau mengalah lagi. Kalau tadi gw masih berusaha jalan di pinggir-pinggir sambil melompat-lompat menghindari lubang, kini gw memilih jalan agak di tengah - yang kebetulan memang agak rata dan tidak tergenang. Baru beberapa meter, lalu sebuah Kijang Inova mengklakson gw keras-keras dan terus menerus seperti marah. Rasa kesal gw memuncak, instead of going to the sidewalk, gw mendatangi jendela si pengklakson itu. Gw menggedor jendelanya sambil berteriak, "Lo nggak liat itu genangan air di pinggir jalan? Lo enak, masih naik mobil, jadi nggak harus berjuang ngelawan lumpur dan hujan ini. Nggak pengertian banget sih, atau nggak punya otak?" maki gw. Si pengemudi yang ternyata seorang cewek itu tidak membuka jendelanya sama sekali. Dia tampak menggumamkan kata maaf, tetapi langsung kabur. Untung kali ini nggak nyiprat lagi. Kalau sampai nyiprat, gw kayanya akan ngambil batu dan nimpuk mobilnya.

Sesampainya di gym, gw baru sadar kalau kecipratan lumpur Jakarta tidak sama dengan kecipratan cologne. Lumpur Jakarta mengandung bau busuk menyengat yang sangat mengganggu. Untunglah ada tisu basah dan hair dryer yang secara instant bisa membersihkan kotoran, menghilangkan bau dan mengeringkan celana pendek dan sepatu gw. Jadi tidak ada yang terganggu dengan bau busuk lumpur saat gw sedang lari di treadmill di sampingnya. At least, gw nggak tahu.

Sesudah nge-gym, tentunya gw langsung mandi dan berganti pakaian baru untuk ke kantor. Keluar dari gym, ternyata hujan masih deras dan jalur lambat kuningan sudah digenangi air hingga sekitar 20 cm. Tetapi tetap saja pengendara mobil dan motor yang lewat di sana sepertinya tidak peduli bahwa sedang ada orang-orang yang sedang berusaha melawan hujan untuk tetap sampai ke kantor dan tetap bersih di pinggir jalan. Hhmmff.. susah banget meminta toleransi di kota ini!

Monday, June 18, 2007

UNCENSORED









Sejak gw memasuki industri majalah pada tahun 2003, udah tidak terhitung banyaknya orang yang meminta gw ngasih liat foto-foto uncensored dari majalah-majalah tempat gw kerja. Apalagi beberapa kali, kerjaan gw memang berurusan ama pemotretan wanita-wanita seksi itu. Tapi baru sekarang inilah pertahanan gw akhirnya bobol. Sekarang semua foto-foto itu bisa dilihat dengan ngeklik ke
sini

Thursday, June 14, 2007

Under The Bridge



Words: Edwin Irvanus & Awali S. Thohir Photography: trd wijaya

Kisah sebuah kampung Jakarta yang berada di kolong roda, tetapi tidak takut ambruk.


Abraracourcix, kepala kampung Ghalia di dalam komik Asterix tidak akan cocok tinggal di kampung ini. Abraracourcix selalu takut kalau langit runtuh menimpanya,
sedangkan di kampung yang satu ini, bukan langit yang mungkin runtuh, melainkan aspal beton dan tiang-tiang konstruksi. Memang, kampung yang kami datangi kali ini bukan sembarang kampung, inilah kampung Kolong Tol.

Jika kita melangkahkan kaki masuk ke kampung ini, segera terasa perbedaan nyata dengan kampung-kampung Jakarta lainnya. Kapanpun kita datang, kita disambut suasana temaram dan hawa sedikit lembab. Sesekali terdengar deru laju kendaraan di atas kepala. Tak jarang pula terasa getaran-getaran kecil, seolah-olah kampung ini diserang gempa. Kami segera disergap rasa waswas. Bagaimana jika selama kunjungan ke kampung ini, jalan tol di atasnya runtuh menimpa kami? Tentu kami akan mati bergelimpangan, seperti nyamuk yang baru ditepuk.

Kampung kolong tol terletak di bawah jalan tol lingkar utara, ke arah Bandara Soekarno-Hatta, di dekat pintu tol Gedong Panjang 1. Tepatnya di Jalan Rawabebek, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Lokasinya memanjang sekitar 2 kilometer, dengan lebar 25 meter. Namun, kampung kolong tol di Jakarta tidak cuma ada di Rawabebek, tetapi juga di 8 lokasi lain, yaitu Warakas, Sungai
Bambu, Kebon Kelapa, Jalan Tongkol, Kampung Walang, Jembatan Tiga, Petak Seng, dan Kalijodo. Mereka kini mengorganisasikan diri di dalam Ikatan Keluarga Besar Kolong Tol (IKBKT). Kampung Kolong Tol Rawabebek yang kami datangi, kini dihuni sekitar 1750 keluarga yang terbagi dalam 7 blok. Mulai dari Blok A hingga Blok G.

Di kampung ini, kami disambut Wartiyah. Wanita berusia 44 tahun yang berprofesi sebagai tukang jahit itu telah 7 tahun menghuni sebuah petak dua lantai berukuran 3 x 5 meter persegi, di kolong tol Rawabebek ini. “Kami mengerti bahwa ada bahayanya tinggal di kolong tol, tetapi selama ini kami selalu aman dan bisa menjalankan kehidupan dengan tenang,” ungkapnya. Ancaman musibah dan bencana alam akan diterimanya sebagai takdir dari Yang Kuasa. “Tidak perlu tinggal di kolong tol, manusia juga bisa mengalami tsunami atau gempa bumi, pokoknya jika itu yang dikehendaki Yang Maha Kuasa, maka itu yang akan terjadi, di manapun kita berada,” katanya menegaskan keyakinannya.

Hampir seluruh petak di kolong tol ini berukuran 3 x 5 meter persegi, karena mengikuti tiang rangka penopang jalan tol. Petak-petak itu berhimpitan satu sama lain dan dipisahkan gang-gang kecil, gelap dan lembab. Sebagian petak telah dibangun permanen dengan menggunakan batubata, tetapi sebagian lagi masih semipermanen dengan papan-papan tripleks.

Tidak ada satu rumah pun yang membutuhkan atap pelindung tambahan di atas petak-petak yang mereka tinggali. Semuanya memanfaatkan aspal tebal di atasnya untuk melindungi diri dari panas dan hujan. Sebagian petak memanfaatkan tinggi jalan tol yang sekitar 6-7 meter untuk membangun 2 lantai di petaknya, sehingga mampu menampung lebih banyak kepala. Tetapi untuk lokasi-lokasi yang cukup rendah, bahkan ada keluarga yang harus selalu merunduk di dalam rumah, karena posisinya berada di tanjakan/turunan jalan.

Awalnya Tempat Pembuangan Sampah

Salah satu warga pioneer di tempat ini adalah Ibrahim (49 tahun). Kepada kami, Ibrahim mengisahkan bahwa usai pembangunan jalan tol di tahun 1995, belum ada warga yang tinggal di kolong tol. Kondisinya saat itu sangat memprihatinkan, jorok, becek dan penuh sampah. Rupanya warga di sekitar jalan tol memanfaatkan lokasi ini untuk membuang sampah domestiknya. Salah satu warga yang juga pendahulu di kolong tol ini adalah Nurdin. Pria yang berasal dari Aceh ini menceritakan bahwa dahulu dari pinggir jalan ke petaknya harus menggunakan titian karena masih banyak genangan air.

Baru pada saat krisis moneter menghantam Indonesia sejak paruh kedua tahun 1997, banyak orang jatuh miskin mendadak. Lambat laun orang mulai berdatangan dan menempati lokasi ini. Ibrahim dan beberapa orang pendahulu pun mulai membersihkan gunungan sampah di sana, lalu sedikit demi sedikit mengurug tempat itu dengan puing-puing bangunan dan mendirikan petak-petak di sana.

Namun saat itu masih banyak warga di sekitarnya yang membuang sampah di tempat yang telah dibersihkan itu. Baru setelah dilakukan pendekatan khusus, warga di sekitar jalan tol mau berhenti membuang sampah di sana. “Saya mengatakan bahwa saya tinggal di kolong tol, jadi tolong jangan diberi sampah lagi.”

Mengetahui hal itu, warga pun mulai berhenti membuang sampah di tempat itu. Mereka pun mulai mematok-matok tanah di kolong tol itu sebagai miliknya. Sebagian ada yang menjadikannya tempat usaha, ada pula yang menyewakan petak atau menjual kavlingnya pada orang lain. Seperti Wartiyah dan Darto suaminya, membeli petaknya dari warga Rawabebek (di luar kolong tol) dengan harga Rp. 350.000,-

Ragam Suku, Ragam Profesi

Lambat laun, rumah-rumah petak semakin padat dan warung-warung kecil muncul hampir di sepanjang ruas jalan. Sebagian warga kolong tol memanfaatkan petak-petak yang menghadap ke pinggir jalan untuk membuka kios kelompok usaha bersama. Ada kios kelompok pedagang sayur, pedagang siomay, pedagang baso, dan kelompok konveksi kecil-kecilan. Kelompok usaha konveksi bahkan sudah bisa menyuplai kain lap dan sepatu bayi ke beberapa supermarket, selain menerima jahitan pesanan. Bahkan ada advertising yang membuka kios di kolong tol ini. Tentu saja bukan yang berskala besar atau internasional, melainkan tukang membuat reklame dan spanduk. Sebagian kios ternyata dimiliki juga oleh warga sekitar kolong tol.

Sebagian warga kolong tol bekerja di sektor informal lainnya, seperti pemulung, kuli bangunan, buruh pabrik, supir berbagai kendaraan umum, tukang cuci, tukang sapu hingga pekerja seks komersial (PSK). Selain profesi, warga kolong tol juga memiliki keragaman latar belakang suku, mulai dari Jawa, Sunda, Batak, Minang, Makassar, hingga Cina.

Beragamnya latar belakang suku dan profesi warga kolong tol, tidak menjadikan mereka bersaing atau bermusuhan. Sebaliknya mereka hidup dalam kekerabatan yang erat. Hubungan akrab itu disebabkan berhimpitannya jarak antara petak mereka. Praktis tiap warga sangat dekat dengan tetangganya. Mereka senantiasa melakukan segala hal bersama-sama. Setiap keluarga memasak di depan rumah untuk menghindari kebakaran, sehingga setiap rumah bisa saling mencicipi masakan tetangganya. Ibu-ibu mencuci dan memandikan anak bersama. Anak-anak kecil pun bermain-main bersama keluar masuk kampung.

Selain itu mereka juga menciptakan unit kerja-unit kerja khusus yang mempermudah kehidupan mereka, misalnya: unit kerja kesehatan, unit kerja tabungan, unit kerja pendidikan bahkan hingga unit kerja penanganan kekerasan dalam rumah tangga. Mereka senantiasa berusaha untuk membantu menyelesaikan masalah warga kolong tol secara mandiri. Seperti unit kerja pendidikan memberi pendidikan bagi anak putus sekolah dan unit kerja penanganan kekerasan dalam keluarga membantu menyelesaikan masalah keluarga. “Maklumlah di tempat yang sarat dengan kemiskinan, kekerasan dalam keluarga tumbuh subur sebagai pelampiasan,” ungkap Wartiyah yang juga terlibat di unit kerja penanganan kekerasan dalam rumah tangga.

Pemukiman Ilegal

Hidup di kolong jalan tol bukan tanpa masalah. Wartiyah sendiri mengakui bahwa seringkali di musim panas petak-petak yang mereka tempati dipenuhi debu dari jalan tol di atasnya. Mereka sendiri hanya bisa berharap tidak ada penyakit yang menyertai debu-debu itu. Selain itu, kondisi pemukiman yang kumuh dan berhimpitan itu tentu beresiko kebakaran dan wabah penyakit. Warga kolong tol sendiri selalu siaga terhagap berbagai kemungkinan, sehingga berbagai langkah antisipasi selalu mereka lakukan semampunya. Misalnya mereka menciptakan aturan dilarang memasak di dalam rumah atau dilarang membakar sampah di kolong tol, untuk menghindari kebakaran. Sejauh ini semua berjalan baik-baik saja.

Namun yang paling mengusik ketenangan warga kolong tol adalah ancaman penggusuran. Sejak tahun 2002, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) menghembuskan isu penggusuran. Lewat selembar surat, pihak kementrian mengumumkan bahwa kolong tol tidak didesain untuk pemukiman, sehingga warga yang menempati lokasi itu harus mengosongkannya. Pemukiman
di kolong tol dikategorikan sebagai ilegal dan kumuh, seperti pemukiman bantaran sungai dan pinggir rel kereta api.

Status pemukiman kolong tol ini sebagai ilegal dan kumuh pada gilirannya merugikan warga kolong tol. Karena status ilegalnya, pemukiman kolong tol tidak memiliki struktur pemerintahan di tingkat paling bawah seperti RT dan RW. Meskipun di internal warga fungsi ini digantikan dengan fungsi blok yang tidak memiliki legitimasi apapun di muka pemerintah.

Absennya fungsi pemerintahan resmi di tempat ini melahirkan dampak beruntun. Warga tidak bisa membuat Kartu Keluarga dan KTP, tidak bisa membuat akta kelahiran dan surat kematian, tidak bisa mendapat kartu Keluarga Miskin (Gakin).
Tanpa kartu Gakin, mereka tidak bisa mendapat bantuan pemerintah seperti beras murah, Asuransi Kesehatan Orang Miskin (Askes-kin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ketika banjir melanda tempat ini di tahun 2002, warga pun tidak berhak mendapat bantuan karena bukan warga resmi.

Lucunya, meskipun demikian warga kolong tol mendapat jatah listrik resmi lengkap dengan meterannya di setiap rumah. Mereka juga didata berulang-ulang ketika Pemilu dan mendapat kartu pemilih dengan status domisili di RT/RW. 00.

Wartiyah mengisahkan bahwa pernah suatu kali ada bayi dari warga kolong tol yang meninggal, namun tidak bisa dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum karena tidak mendapat surat kematian dari instansi pemerintah. Setelah diancam bahwa mayat jabang bayi itu akan ditinggalkan di kantor instansi itu, barulah surat kematian akhirnya bisa diterbitkan.

Ancaman Penggusuran

Ancaman penggusuran muncul sejak tahun 2002. Ketika itulah warga mulai mengorganisir di dalam IKBKT. Lewat organisasi ini, mereka mendata seluruh
penghuni warga kolong tol. Awalnya hanya mencakup kolong tol Rawabebek saja, namun kini sudah meliputi 9 wilayah.

Pada tahun 2002 itu, warga kolong tol Rawabebek menyiapkan konsep yang diajukan kepada Menkimraswil Soenarno. Konsep itu berisi data penghuni, peta wilayah dan rancangan penataan yang disiapkan oleh arsitek. Setelah pengajuan konsep itu kepada menteri, warga kolong tol Rawabebek dihadiahi SK Menteri
Kimpraswil No. 214/KPTS/M/2002 tentang izin tinggal sementara di kolong tol.

Dengan SK tersebut, pemerintah seolah-olah mengakui keberadaan warga kolong tol untuk bermukim dan memanfaatkannya sebagai tempat usaha. Bahkan Menkimpraswil Soenarno dahulu sempat 2 kali berkunjung ke Rawabebek. Selain Menteri, Nobel Peace Prize Winner, Shirin Ebadi dari Iran dengan disponsori
Kedutaan Besar Swiss di Indonesia juga sempat berkunjung ke tempat ini di tahun 2003 dan berdiskusi dengan warga. Kedutaan Besar Swiss lalu menindaklanjuti kunjungan Ebadi dengan menyumbang 20 mesin jahit untuk warga memulai usaha konveksi.

Namun setelah ganti kabinet, Menkimraswil baru, Joko Kirmanto, menerbitkan SK Menteri Kimpraswil no. 374 yang mencabut SK sebelumnya dan melarang warga bermukim di kolong tol. Warga kolong tol diberi tengat waktu hingga Februari
2007. Karena itu, warga kolong tol mulai digusuri, dimulai dari Kalijodo dan Petak Seng, lalu akan segera menyerang Rawabebek juga.

Warga sendiri sempat menanyakan apa sebabnya warga dilarang tinggal di kolong tol. Ketika itu, warga diberi jawaban oleh Kasubdit Monitoring dan Evaluasi Jalan Tol Ditjen. Bina Marga, T. Anshar bahwa mereka akan merusak konstruksi jalan tol. Tetapi warga berkilah lagi bahwa pemukiman mereka sudah ditangani arsitek dari beberapa NGO yang sudah mengantisipasi agar bangunan pemukiman warga tidak mengganggu konstruksi jalan tol. Caranya yaitu dengan melapisi tiang-tiang penopang jalan tol tersebut dengan lapisan baru.

Tetap di Kolong Tol

Pemerintah sebenarnya sudah menawarkan solusinya. Warga diajak pindah dan mencicil rumah susun Marunda. Pemerintah sudah menyediakan 3 blok di sana, tinggal menunggu fasilitas PAM dan PLN. Menkimpraswil Soenarno sendiri selama bertugas di kabinet telah menegaskan bahwa warga akan direlokasi secara
bertahap ke rusun. Namun relokasi itu beritanya tidak berkelanjutan lagi, tidak seperti kabar penggusuran.

Warga sendiri belum menganggap relokasi ke rumah susun itu sebagai langkah paling tepat. Dengan rumah susun, tidak sedikit warga yang akan mendapat
kesulitan baru. Pertama, karena mereka harus menyewa atau mencicil lagi rumah susun itu dengan harga yang cukup besar dan masa cicilan cukup panjang. Rata-rata penghasilan mereka tidak memadai untuk mengambil cicilan itu.

Kedua, tidak kondusifnya rumah susun untuk melanjutkan usaha mereka. Banyak di antara warga kolong tol adalah pedagang kaki lima atau pemulung yang mengandalkan kondisi pemukiman mereka saat ini. Mereka sendiri menyebutkan
dengan profesi mereka sekarang, di manapun mereka bermukim akan membangun wilayah pemukiman yang mirip lagi, karena mereka harus menumpuk hasil pekerjaannya di sekitar pemukiman.

Warga kolong tol sendiri berharap mereka bisa tetap tinggal di kolong tol dan tidak lagi dianggap warga ilegal. Mereka sendiri tidak keberatan jika harus membayar PBB atau m
enjalankan kewajiban lainnya. Bagi mereka yang dibutuhkan saat ini adalah penataan, sehingga warga dapat hidup dan berkembang dengan sehat dan mandiri, tanpa ancaman penggusuran.

Kami sendiri berharap agar kedua pihak membuka diri untuk mencari solusi yang paling tepat. Apapun langkah penyelesaian yang diambil, hendaknya menjadi kesepakatan bersama antara warga dan pemerintah, serta senantiasa berlandaskan kemanusiaan dan keadilan. Bukankah kita sama-sama mendirikan negeri ini untuk kesejahteraan setiap orang.





Tuesday, June 12, 2007

Phantom of The Cinema





Hantu gentayangan di bioskop
salah satu mal besar Jakarta




Gambar-gambar yang Anda lihat, bukan diambil dari still photo film Phantom of The Opera atau sequel-nya. Setelah direnovasi dan dibuka kembali, ada hantu gentayangan di Plaza Senayan XXI! Maxim sempat memotret bukti-buktinya saat berkunjung ke tempat itu. Tetapi Anda tidak perlu takut. Ternyata hantu-hantu itu hanyalah wrongfully placed gimmick dalam rangka Gala Premiere film Suster Ngesot yang diadakan 8 Mei 2007 lalu.

Ceritanya, saat penonton sedang asik-asiknya menyaksikan film, tahu-tahu sesosok hantu berpakaian putih dan berambut supergondrong merayap di kegelapan. Tidak ada yang menyadari kedatangan hantu pura-pura ini. Tahu-tahu hantu itu mencengkram pergelangan kaki seorang penonton di baris paling bawah. Kontan saja si empunya kaki menjerit-jerit karena terkejut.


Perhatian penonton segera teralihkan dari layar bioskop ke baris terdepan. Hampir semua penonton langsung menyalakan ponselnya untuk melihat apa yang terjadi. Beberapa orang juga tampak menyalakan flash light kamera ponsel. Setelah menyadari bahwa ada hantu pura-pura sedang merangkak-rangkak dari barisan bawah menuju ke atas, semua penonton pun langsung terpingkal-pingkal. Efeknya memang agak kurang matching dengan filmnya yang bergenre horor, tapi cukup efektif karena begitu keluar dari bioskop orang-orang langsung membicarakan gimmick-nya, bukan filmnya.



Wednesday, May 23, 2007

Platoon


CHRIS TAYLOR:

Day by day I struggle to maintain not only my strength but also my sanity. It's all a blur. I have no energy to write. I don't know what's right or wrong anymore.
PLATOON - Oliver Stone - 1986

Monday, April 23, 2007

BLUE


Keluh kesah gw, ternyata keluh kesah Wulan juga...







I should leave this city right away escaping this exquisite agony. The night is so blue. The boat is waiting. I feel the light is chasing after me. At the small port, the bleak month of the year, so-called derailed life. The blue night and everything suddenly becomes so blue

Thursday, April 19, 2007

"Writer's Block" by Just Jack










I get this writer's block, it comes as quite a shock,
And now i'm stuck between a hard place and the biggest rock,
In my own head consumed. I sit back in my room,
Its like the tapestries of life get tangled in the loom,
I'm like a butterfly, caught in a hurricane,
My pulse is quickening as my heart plays a new refrain

Im lovin' Mary Jane, flyin' with Lois Lane,
On board a bullet train
Don't know yet if i'm glad i came
Don't know yet if i'm glad i came
Don't know yet if i'm glad i came
Don't know yet if i'm glad i came

Sometimes at night i think too much,
About life and love and music and stuff

I'm livin' in the past,
My clocks an hour fast,
Should really go and make a coffee but i can't be arsed,
I've lost my mobile phone,
You'll have to call my home,
On second thoughts just leave a message when you hear the tone,
My grimy windows show the early morning glow,
Another day, another dollar in my one man show,

Im lovin' Mary Jane, flyin' with Lois Lane,
On board a bullet train
Don't know yet if i'm glad i came
Don't know yet if i'm glad i came
Don't know yet if i'm glad i came
Don't know yet if i'm glad i came

I fell out with Mary Jane, I don't speak to Lois Lane and i missed that bullet train
But now i know i'm glad i-
I fell out with Mary Jane, I don't speak to Lois Lane and i missed that bullet train
But now i know i'm glad i-
I fell out with Mary Jane, I don't speak to Lois Lane and i missed that bullet train
But now i know i'm glad i-
I fell out with Mary Jane, I don't speak to Lois Lane and i missed that bullet train
But now i know i'm glad i came
But now i know i'm glad i came
But now i know i'm glad i came

Notes: Buset... lagu ini tahu banget rasanya...

Monday, April 09, 2007

Nagabonar Jadi 2





PETUAH KEPAHLAWANAN UNTUK ABAD 21




Kalo meniru Simon Cowell mungkin gw akan bilang, "I couldn't rave about the movie, but you can read my complete review here"

Sunday, April 08, 2007

Merah Putih by Jakob Sumardjo

Tak sengaja menemukan sebuah tulisan Oom Jakob Soemardjo di sebuah forum. Sebaiknya dirilis ulang supaya lestari selamanya.







Bendera Indonesia, Merah Putih, sering diartikan "berani" dan "suci". Apakah ini pemaknaan budaya modern atau budaya Indonesia promodern? Mengapa kini bangsa Indonesia memilih simbol merah dan putih sebagai jati diri? Mengapa merah di atas dan putih di bawah, bukan sebaliknya? Dari mana simbol ini berasal?

Berbagai pertanyaan itu tak pernah diajukan orang sejak Mohammad Yamin menjelaskannya dalam buku yang tak pernah dicetak ulang. 6000 Tahun Sang Saka Merah Putih, tahun 1958. Dijelaskan, warna merah simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan. Merah putih bermakna "zat hidup". Hanya tidak dijelaskan makna "zat hidup". Buku ini ingin membuktikan, Merah Putih sudah menjadi simbol bangsa Indonesia sejak kedatangan mereka di kepulauan Nusantara 6.000 tahun lampau.

Makna merah-putih tidak cukup ditelusuri dari jejak arkeologi bahwa warna merah, putih, dan hitam dapat dijumpai pada berbagai peninggalan prasejarah, candi, dan rumah adat. Artefak- artefak itu hanya ungkapan pikiran kolektif suku-suku di Indonesia. Maka, arkeologi pikiran kolektif inilah yang harus digali dan masuk otoritas antropolo- gi-budaya atau antropologi-seni. Alam pikiran semacam itu masih dapat dijumpai di lingkungan masyarakat adat sampai sekarang.

Warna merah, putih, hitam, kuning, dan campuran warna- warna itu banyak dijumpai pada ragam hias kain tenun, batik, gerabah, anyaman, dan olesan pada tubuh, yang menunjukkan keterbatasan penggunaan warna- warna pada bangsa Indonesia. Kaum orientalis menuduh bangsa ini buta warna di tengah alamnya yang kaya warna. Benarkah bangsa ini buta warna? Atau bangsa ini lebih rohaniah dibandingkan dengan manusia modern yang lebih duniawi dengan pemujaan aneka warna yang seolah tak terbatas?

Alam rohani dan duniawi

Alam rohani lebih esensi, lebih sederhana, lebih tunggal. Sedangkan alam duniawi lebih eksisten, kompleks, dan plural. Bangsa Indonesia pramodern memandang hidup dari arah rohani daripada duniawi. Inilah sebabnya penggunaan simbol warna lebih sederhana ke arah tunggal. Jika disebut buta warna, berarti buta duniawi, tetapi kaya rohani.

Berbagai perbedaan hanya dilihat esensinya pada perbedaan dasar, yakni laki-laki dan perempuan. Semua hal yang dikenal manusia hanya dapat dikategorikan dalam dualisme-antagonistik, laki-perempuan. Matahari itu lelaki, bulan perempuan. Dan puluhan ribu kategori lain.

Pemisahan "lelaki"-"perempuan" itu tidak baik karena akan impoten. Potensi atau "zat hidup" baru muncul jika pasangan-pasangan dualistik itu diharmonikan, dikawinkan, ditunggalkan. Itu sebabnya tunggalnya merah dan putih menjadi dwitunggal. Satu tetapi dua, dua tetapi tunggal. Dwitunggal merah-putih menjadi potensi, zat hidup.

Harmoni bukan sintesis. Sintesis merah-putih adalah merah jambu. Bendera Indonesia tetap Merah Putih, dwitunggal. Dalam sintesis tidak diakui perbedaan karena yang dua lenyap menjadi satu. Bhinneka Tunggal Ika bukan berarti yang plural menjadi satu entitas. Yang plural tetap plural, hanya ditunggalkan menjadi zat hidup. Sebuah kontradiksi, paradoks, yang tidak logis menurut pikiran modern.

Dalam pikiran modern, Anda harus memilih merah atau putih atau merah jambu. Lelaki atau perempuan atau banci. Dalam pikiran pramodern Indonesia, ketiganya diakui adanya, merah, putih, merah jambu. Merah jambu itulah Yang Tunggal, paradoks, Zat Hidup, karena Yang Tunggal itu hakikatnya Paradoks. Jika semua ini berasal dari Yang Tunggal, dan jika semua ini dualistik, Yang Tunggal mengandung kedua-duanya alias paradoks absolut yang tak terpahami manusia. Tetapi itulah Zat Hidup yang memungkinkan segalanya ini ada.

Yang Tunggal itu metafisik, potensi, being. Yang Tunggal itu menjadikan Diri plural (becoming) dalam berbagai pasangan dualistik. Inilah pikiran monistik dan emanasi, berseberangan dengan pikiran agama-agama samawi. Harus diingat, merah-putih telah berusia 6.000 tahun, jauh sebelum agama-agama besar memasuki kepulauan ini. Warna merah, putih, dan hitam ada di batu-batu prasejarah, candi, panji perang. Putih adalah simbol langit atau Dunia Atas, merah sim- bol dunia manusia, dan hitam simbol Bumi atau Dunia Bawah. Warna-warna itu simbol kosmos, warna-warna tiga dunia.

Alam pikiran ini hanya muncul di masyarakat agraris. Obsesi mereka adalah tumbuhnya tanaman (padi, palawija) untuk keperluan hidup manusia. Tanaman baru tumbuh jika ada harmoni antara langit dan bumi, antara hujan dan tanah. Antara putih dan hitam sehingga muncul merah. Inilah yang menyebabkan masyarakat tani di Indonesia "buta warna".

Buta warna semacam itu ada kain-kain tenun, kain batik, perisai Asmat, hiasan rumah adat. Meski dasarnya triwarna putih, merah, hitam, terjemahannya dapat beragam. Putih menjadi kuning. Hitam menjadi biru atau biru tua. Merah menjadi coklat. Itulah warna-warna Indonesia.

Kehidupan dan kematian

Antropolog Australia, Penelope Graham, dalam penelitiannya di Flores Timur (1991) menemukan makna merah dan putih agak lain. Warna merah dan putih dihubungkan dengan darah. Ungkapan mereka, "darah tidak sama", ada darah putih dan darah merah. Darah putih manusia itu dingin dan darah merah panas. Darah putih itu zat hidup dan darah merah zat mati. Darah putih manusia mendatangkan kehidupan baru, kelahiran. Darah merah mendatangkan kematian.

Darah putih yang tercurah dari lelaki dan perempuan menimbulkan kehidupan baru, tetapi darah merah yang tercurah dari lelaki dan perempuan berarti kematian. Makna ini cenderung mengembalikan putih untuk perempuan dan merah untuk lelaki, karena hanya kaum lelaki yang berperang. Mungkin inilah hubungan antara warna merah dan keberanian. Merah adalah berani (membela kehidupan) dan putih adalah suci karena mengandung "zat hidup".

Mengapa merah di atas dan putih di bawah? Mengapa tidak dibalik? Bukankah merah itu alam manusia dan putih Dunia Atas? Merah itu berani (mati) dan putih itu hidup? Merah itu lelaki dan putih perempuan? Merah matahari dan putih bulan? Merah panas dan putih dingin? Artinya, langit-putih-perempuan mendukung manusia-merah-lelaki. Asal manusia itu dari langit. Akar manusia di atas. Itulah sangkan-paran, asal dan akhir kehidupan. Beringin terbalik waringin sungsang. Isi berasal dari Kosong. Imanen dari yang transenden. Merah berasal dari putih, lelaki berasal dari perempuan.

Jelas, Merah-Putih dari pemikiran primordial Indonesia. Merah-putih itu "zat hidup", potensi, daya-daya paradoksal yang menyeimbangkan segala hal: impoten menjadi poten, tak berdaya menjadi penuh daya, tidak subur menjadi subur, kekurangan menjadi kecukupan, sakit menjadi sembuh . Merah-putih adalah harapan keselamatan. Dia adalah daya-daya sendiri, positif dan negatif menjadi tunggal.

Siapakah yang menentukan Merah-Putih sebagai simbol Indonesia? Apakah ia muncul dari bawah sadar kolektif bangsa? Muncul secara intuisi dari kedalaman arkeotip bangsa? Kita tidak tahu, karena merah-putih diterima begitu saja sebagai syarat bangsa modern untuk memiliki tanda kebangsaannya.

Merah-Putih adalah jiwa Indonesia.

Wednesday, April 04, 2007

AMENANGI ZAMAN EDAN



KALA









Kemaren nonton preview film terbaru Joko Anwar. Komentar gw bisa dibaca di sini

Thursday, March 29, 2007

UPGRADE






Mohon maaf, karena proses upgrade yang baru saja dijalani blog ini, maka komentar-komentar yang lama jadi hilang. Tapi Anda bebas mengomentari ulang bagian manapun dari blog ini dengan commentary system yang baru.

Tuesday, March 27, 2007

Balada Riska, Penjaja Koran Jalanan





Tulisan Bang Daniel Siburian







Riska Amelia. Itu nama yang disematkan ayah bunda kepadanya. Dihimpit kemiskinan ia dengan sukarela melakoni hidup menjadi penjaja koran di jalanan ketika menginjak usia kelas 2 SD. Maklum, ibunya hanya seorang penyapu jalan di Jalan Hayam Wuruk Jakarta. Ayahnya entah di mana berada. Riska telah melakoni pekerjaan selama tiga tahun. Kini ia telah menginjak usia 10 tahun dan duduk di kelas 5 SD Negeri 05 Kenari, Jakarta Pusat. Dari jerih payahnya menjajakan Koran di tengah hiruk pikuk dan polusi jalanan, setiap hari ia bisa membawa pulang sekitar lima puluh ribu ke rumah.

Tidak seperti anak penjaja koran pada umumnya, kehidupan jalanan tidak membuat Riska lalai atas tugas utamanya sebagai seorang siswa. Di sela-sela waktu tersisa, ia masih menyempatkan diri untuk belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah yang dibebankan sekolahnya. Menurut pengakuan ibunya, Riska menduduki rangking tiga besar di sekolah!

Riska tidak pernah mengeluh atas nasib yang menderanya. Ia melakoni pekerjaan yang seharusnya belum waktunya dia kerjakan dengan sepenuh hati. Ia tetap memakai seragam sekolahnya ketika menjajakan koran. Karena, baginya, kalau harus berganti pakaian, malah kian memberatkan beban yang harus dia pikul di tasnya. Maklum, rumahnya jauh nun di Citayam, Depok, sementara ia berjualan di sepanjang Tugu Tani, Jakarta Pusat.

Riska tak menduga sebelumnya, pemikiran sederhananya ini akan berakibat fatal. Ia ditegur keras oleh kepala sekolahnya dan diminta untuk pindah sekolah. Gadis polos itu dianggap telah mencermarkan nama baik sekolah, telah membuat Sang Kepala Sekolah, Sri Mintaningsih, malu bukan kepalang. Bu Kepala Sekolah tidak bisa terima sama sekali ada anak didiknya yang ketahuan khalayak ramai menjadi penjaja koran jalanan. Ya, salah satu koran ibu kota telah memuat foto Riska sedang berjualan koran di Tugu Tani.

Dunia Riska runtuh seketika. Tidak ada lagi keceriaan di matanya. Riska kini menjadi pendiam. Ia tidak mau lagi pergi ke sekolah. Bahkan untuk keluar rumah pun tidak mau.

Sungguh saya tidak bisa menahan geram ketika membaca nasib sial yang menimpa gadis kecil penjaja koran ini. Sekolah yang seharusnya mendidik anak didiknya dengan baik dan benar malah melakukan tindak kekerasan psikologis! Lebih menyebalkan lagi, sang guru membela diri bahwa ia sama sekali tidak memarahi Riska. „Saya sampaikan itu (penegasan tata tertib sekolah, termasuk pemakaian seragam sekolah - pen.) baik-baik, tidak dengan marah-marah,“ ujarnya membela diri.

Akal sehat saya tentu saja langsung menyanggah pembelaan diri tersebut. Mana mungkin Riska akan langsung berubah seratus delapan puluh derajat kalau ibu gurunya ng
omong baik-baik? Secara a priori saya lebih mengamini kesaksian ibu kandung Riska.

Memang, kalau kita tilik dari kacamata hukum, keputusan Rosnida, ibu Riska, untuk membiarkan (menyuruh?) dia berjualan koran bisa disebut sebagai kegiatan eksploitasi anak, mempekerjakan anak di bawah umur. Tapi, persoalan tidaklah sesederhana itu. Rizka dan rizka-rizka yang lain lebih membutuhkan empati daripada sikap pahlawan kesiangan. Tidak ada seorang anak pun yang terlahir ke dunia ingin menghabiskan masa kecilnya di jalanan, berteriak menjajakan koran, berharap ada orang yang membeli dagangannya; menghirup polusi udara; rentan terhadap tindak kekerasan seksual!

Seharusnya, ketika foto Riska tertampang di koran, akan lebih arif-bijaksana bila pihak sekolah mencarikan Riska beasiswa pendidikan. Terlebih Riska termasuk anak pintar, bisa menduduki rangking tiga, memiliki kemauan keras untuk bersekolah.

Tugas sekolah adalah memberi harapan hidup yang lebih baik buat anak didiknya, bukannya memadamkan asa mereka!***
IBX5899AACD4E772