Friday, January 23, 2004

BAUR

Hari ini hari raya Imlek, herannya hari ini panas banget. Gak kayak tahun kemaren yang basah banget. Tapi yah tidak apa-apa, mungkin ini tanda bahwa Tahun Monyet Kayu ini akan sangat dinamis. Orang mana mau keluar, jalan-jalan di cuaca hujan, meningan di rumah tidur atau menyeruput teh manis panas. Kalo hangat begini orang maunya main terus, jalan-jalan, kalau pun nongkrong paling juga di Starbucks menikmati Coffee Iced Shaken yang luar biasa lezatnya itu.
Anyway, catatan hari ini sama sekali bukan soal cuaca. Eh ada sedikit soal cuaca hati yang sepertinya lagi hijau segar terus nih beberapa hari ini. Biarpun kemaren deadline kelewat 2 hari tapi tetap segar, walaupun ada sedikit rasa sesal sih...aduh ngelantur terus nih.
Ngomongin Imlek, pikiran gw jadi kembali ke beberapa tahun ke belakang. Ketika kita masih dikendalikan Soeharto. Ketika itu, segala hal yang berbau China dilarang beredar. Hari Raya Imlek tidak boleh dirayakan. Barongsai yang ciamik itu tidak boleh dimainkan. Aksara dan bahasa China tidak boleh digunakan. Terbitan berbahasa China pun dibredel.Nama China harus diindonesiakan. Sampai masih banyak orang China yang masih disebut WNA padahal sudah menahun hidup di Indonesia. Orang China tidak boleh berpolitik. Konon pula, prosentase tembus UMPTN bagi etnis ini pun dipersempit. Alasannya: untuk menumbuhkan nasionalisme di kalangan warga keturunan tionghoa Indonesia. Program ini disebut pembauran. Lucunya alasan dan tindakan suka tidak nyambung, katanya mau berbaur tapi yang ada kok malah dibatasi? Katanya disuruh berbaur, tapi kok hak pribadinya berbeda dengan hak pribadi orang yang mengaku pribumi. Kewajiban juga beda.
Akhirnya zaman kegelapan itu berakhir sudah...meskipun masih samar-sama, fajar tampaknya siap menyingsing di negeri ini. Sejak zaman Gus Dur, semua hak yang selama ini dibendung akhirnya dibuka. Imlek boleh dirayakan lagi, Barongsai boleh kita tonton lagi. Alhasil di masa ini mungkin justru lebih gampang berbaur.
Kita memang sering terjebak dengan istilah persatuan. Atau mungkin persatuan itu sudah kata yang salah ketika digunakan untuk menjelaskan suatu komunitas. Bersatu adalah menjadi satu, tapi apa mungkin. Bahkan mobil satu seri yang sama dari satu pabrik yang sama bisa saja berbeda. Bersatu itu sebenarnya merujuk pada apa? Kenapa kemudian identitas yang diharamkan? Bukankah identitas itu suatu yang melekat pada kedirian seseorang.
Beberapa hari yang lalu gw baru nonton VCD yang judulnya Jangan Panggil Aku Cina, yang main Leony dan Teddy Syah. Dari judulnya saja gw udah bingung, kenapa gak mau dipanggil China? Kalau memang keturunan China ya gak apa-apa dunk dipanggil China. Film yang dulu diputer di FTV dalam rangka Imlek 2 tahun lalu itu, akhirnya kembali pada klise pembauran. Orang China itu sudah lama di Indonesia, jadi dia sudah orang Indonesia. Lah orang Batak juga sudah lama di Indonesia, kenapa gak ada masalah kalau dipanggil Batak?
Kembali ke masalah China, mendiang Yap Thiam Hien -- idola gw itu -- selalu menolak himbauan pemerintah untuk ganti nama. Dia juga tidak mau ganti nama anak-anaknya. Bagi dia memilih nama itu hak orang tua atau hak asasi manusia dan tidak ada hubungannya dengan sikap nasionalisme. Engkong pembela keadilan itu membuktikan bagaimana dia selalu membela nasib rakyat kecil sepanjang hidupnya. Engkong yang hebat itu pun selalu membela Hak Asasi Manusia yang sering dilanggar justru oleh orang-orang yang teriak persatuan itu. Rupanya menjadi Satu, telah jadi excuse yang hebat untuk menindas. Setelah semua perjuangannya siapa yang berani bilang Engkong Yap Thiam Hien itu tidak nasionalis. Anak-anaknya pun menikah dengan orang Jawa, orang Sumatra dan lain-lain.
Sebenarnya beda itu biasa, atau lebih tepat kalau beda itu justru perlu. Siapa bilang kita tidak bisa bersama kalau kita beda-beda. Indro Warkop bilang bahwa dia lebih setuju dengan istilah Bersama dan Kebersamaan. Istilah itu sudah mengandung nilai penerimaan atas perbedaan. Istilah Bersama dan Kebersamaan mengisyaratkan adanya sinergi. Gw setuju dengan Indro Warkop yang menggunakan istilah ini. Gw lebih sepakat kalau tugas kita itu untuk memahami identitas-identitas orang lain, hidup bersamanya dan kemudian mencapai hasil dari resultansi kekuatan masing-masing.
Imlek Tahun Lalu, gw ajak seorang teman menonton pertunjukan China Moon di Goethe. Efek nonton pertunjukan itu, dia yang tadinya gak mau ngaku bahwa dia China, akhirnya mau bilang bahwa dia China. Akhirnya dia percaya orang lain bisa mengerti, bahwa China itu hanya masalah identitas belaka, bahwa masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, dia akhirnya percaya bahwa orang sudah bisa terima hal-hal manusiawi begitu. Lebih penting lagi, dia pun bilang bahwa dia juga bangga menjadi China. Karena dia punya keunikan tradisi dan kebudayaan khas yang bisa dia serap kelebihannya. Akhir-akhir ini, gw liat dia sudah menggunakan namanya keluarga di akhir namanya. Jadi seperti Andy LAU, atau Christy CHUNG, begitu lah. Kalo atas pilihan sendiri, nama bagaimana aja ya gak pa-pa lah. Tadi pagi si Ucok juga SMS bahwa dia tersentuh dengan buku China Moon yang dibikin khusus dalam rangka pertunjukan itu. Katanya itu bikin dia tambah sayang dengan keluarganya. Bagus! Semoga semakin banyak yang menemui hal seperti itu.
Kesimpulannya, sejak menjadi keturunan China itu boleh ditunjukan lagi di Indonesia. Meskipun gw bukan sama sekali keturunan China (kalo pun gw ngeclaim begitu pasti diketawain orang), gw berhasil menemukan hal-hal baru yang memperkaya hidup gw dan melengkapi isi otak gw. Gw juga bisa melihat lebih banyak hal indah dalam hidup gw, seperti nonton barongsai misalnya. Tapi masalah eksistensi China tidak sekedar, boleh merayakan imlek, boleh mempertontonkan barongsai, boleh menggunakan aksara China. Tapi lebih bagaimana kita hidup bersama mereka tanpa kecurigaan dan siap bekerja sama dengan konstruktif. Itu kata Sujiwo Tejo di Pengantar buku China Moon. Gw semakin heran kenapa dulu pake dihambat-hambat untuk tumbuh. Gak perlu lah ada yang dihambat untuk tumbuh. Mari kita sama-sama belajar dari apa yang bisa kita pelajari. Aduh jadi kangen ama Fe, my little chinese daughter! Ma petite fille chinoise


SELAMAT TAHUN BARU IMLEK 2555
Gong Xi Fa Chai

Friday, January 09, 2004

Show Me The Way (Styx)

Every night I say a prayer in the hopes that there's a heaven.
and everyday I'm more confused as the saints turn into sinners
All the heroes and legends I knew as a child have fallen to idols
of clay
And I feel this empty place inside so afraid that I've lost my
faith

Show me the way, show me the way
take me tonight to the river and wash my illusions away
Please show me the way

And as I slowly drift to sleep, for a moment dreams are sacred
I close my eyes and know there's peace in a world so filled with
hatred
That I wake up each morning and turn on the news to find we've so
far to go
And I keep on hoping for a sign, so afraid that I just won't know

Show me the way, Show me the way
Bring me tonight to the mountain
And take my confusion away
And show me the way

And if I see a light, should I believe
Tell me how will I know

Show me the way, show me the way
Take me tonight to the river
And
wash my illusions away
Show me the way, show me the way
Give me the strength and the courage
To believe that I'll get there someday
And please Show me the way

Every night I say a prayer
In the hopes that there's a heaven.....
Show me the way
IBX5899AACD4E772