Kata-kata ini sempat menjadi kata-kata yang sangat populer hingga 7 tahun lalu. Bukan lantaran kata ini diangkat jadi salah satu karakter dalam comedy teenlit LUPUS, melainkan karena maraknya tragedi yang karena kata ini sepanjang pemerintahan Orde Baru. Reaksi perlawanan sendiri muncul baru dimulai sejak sekitar akhir tahun 1980-an, tepatnya sekitar 1988 dengan meletusnya kasus Cimacan di Garut dan - yang paling populer - Kedungombo.
Kasus-kasus tanah memang sempat menjadi pemantik ulang kehadiran mahasiswa Indonesia di kancah politik nasional. Sejak dibungkam lewat NKK/BKK sejak tahun 1978, kiprah politik mahasiswa memang tersendat selama hampir 10 tahun. Mereka baru berhasil kembali colongan lagi lewat aksi-aksi sosial dalam rangka anti penggusuran itu, baru kemudian meluas ke wilayah-wilayah tidak beres lainnya hingga akhirnya berhasil meruntuhkan pemerintahan 10 tahun sesudahnya.
Waktu gw mulai kuliah di Bandung tahun 1994, gw juga mulai belajar politik lewat kasus-kasus penggusuran yang marak terjadi di Jawa Barat waktu itu. Dua kasus penggusuran pertama yang jadi sekolah politik gw waktu itu adalah Kasus tanah Cibeureum - yang entah bagaimana nasibnya kini - dan Kasus Penggusuran lahan berjualan Pedagang Kaki Lima UNPAD. Untuk kasus kedua, pada akhirnya kami berhasil membuat pihak birokrasi kampus mengembalikan lahan berjualan tersebut. Para pedagang kaki lima yang nyaris tergusur itu, akhirnya membentuk Serikat Pekerja sendiri bernama Pakilun (Pedagang Kaki Lima UNPAD). Kabar terakhir mereka juga sempat membetuk Koperasi segala. Entah bagaimana juga khabarnya sekarang.
Gw nggak banyak mengikuti lagi, karena gw telah tercerabut dari akar rumput itu lama sekali. Terakhir kali gw berurusan dengan masalah ini kira-kira tahun 1999, waktu gw ikutan Simposium Agenda Reformasi Pertanahan yang diadakan Akatiga di Puncak. Waktu itu terjadi hubungan yang sangat dialogis antara birokrasi pemerintah BJ Habibie dengan NGO yang mewakili rakyat. Waktu itu juga diumumkan berbagai paket deregulasi birokrasi tanah berupa kemudahan sertifikasi pemilikan dan pengurusan hak guna tanah. Detailnya gw sekarang sudah agak lupa. Tak lama kemudian, gw pun perlahan-lahan menjauhi politik dan mendekati dunia hiburan.
Dalam situasi beku panjang itu, tiba-tiba hari Minggu, 5 Juni lalu gw disentakan berita penggusuran lagi. Kata-kata itu tiba tiba muncul lagi dalam daftar kosakata gw, setelah terkubur sejak pergantian milenium.
Awalnya adalah Rere yang meminta gw menemaninya jaga stand di Pameran Industri Pers. Sebelum gw datang, Rere minta dibawakan makanan, jadi gw belikan dulu di Sogo Supermarket. Keluar dari Sogo Supermarket, lalu siap-siap menunggu taksi di depan Wisma Nusantara. Gw mulai bingung kenapa tidak satu pun kendaraan lewat siang itu di tepi Jl. Thamrin (bayangin!!). 5 menit kemudian, gw pun menemukan sebabnya. 2000 orang korban penggusuran tengah berdemonstrasi dengan berjalan kaki mulai dari Patung Arjuna dekat monas ke Bundaran HI. Di Bundaran HI, mereka lalu menggelar pentas nol penggusuran yang dihadiri juga oleh artis Rieke Dyah Pitaloka.
Siang itu mereka menuntut dicabutnya Perpres No. 36/2005. Perpres 36/2005 konon menjadikan investasi adalah raja, sementara rakyat adalah kendala. Atas nama pembangunan untuk kepentingan umum, proyek pemerintah dan swasta yang digunakan untuk mencari keuntungan diperkenankan untuk mencabut hak rakyat atas tanah. Seperti disebutkan dalam Perpres tersebut, panitia pengadaan tanah dibentuk oleh bupati atau wali kota dengan susunan keanggotaan yang terdiri atas unsur-unsur perangkat daerah terkait. Penitia ini mengatur mekanisme ganti rugi dengan cara musyawarah dalam jangka waktu 90 hari, namun jika dalam jangka waktu tersebut tidak tercapai kesepakatan harga, maka panitia pengadaan tanah dapat menetapkan harga ganti rugi secara sepihak. Perpres 36/2005 akan membuat pembangunan berbagai proyek menjadi lancar. Yang artinya puluhan ribu rakyat yang selama ini hanya ingin tinggal secara wajar akan tergusur secara legal.
Dari www.jatim.go.id, seorang tokoh pemerintahan menyatakan sebenarnya Perpres ini justru melindungi rakyat karena dia menyebutkan secara detail poin-poin yang disebut kepentingan umum jadi rakyat tidak bisa semena-mena digusur untuk suatu proyek melainkan hanya untuk proyek-proyek kepentingan umum yang sudah disebutkan saja. Perpres ini memuat 21 jenis proyek “pembangunan untuk kepentingan umum”, yakni: (a) Jalan umum, jalan tol, rel kereta api, saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi, (b) Waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya, (c) Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat, (d) Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal, (e) Peribadatan, (f) Pendidikan atau sekolah, (g) Pasar umum, (h) Fasilitas pemakaman umum, (i) Fasilitas keselamatan umum, (j) Pos dan telekomunikasi, (k) Sarana olah raga, (l) Stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya, (m) Kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, PBB, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan PBB, (n) Fasilitas TNI dan POLRI sesuai tugas pokok dan fungsinya, (o) Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, (p) Rumah susun sederhana, (q) Tempat pembuangan sampah, (r) Cagar alam dan cagar budaya, (s) Pertamanan, (t) Panti sosial, dan (u) Pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik (Pasal 5). Tapi lucunya, objek kepentingan umum di sini juga didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat dikelola swasta dan menghasilkan keuntungan juga.
Gw terhenyak kaget di pinggir jalan. Tiba-tiba gw seperti telah dilemparkan jauh sekali dari bumi tempat gw berpijak. Gw nggak menyangka banget bahwa ternyata masalah ini masih jadi dilema tak terpecahkan. Mata gw yang terpejam dalam tidur panjang seperti dibuka kembali. Kasus-kasus tanah memang tak lagi jadi kasus populis akhir-akhir ini. Orang lebih tertarik membahas masalah-masalah politik makro ketimbang ribuan orang yang terusir dari tempat tinggalnya. Yang lebih membuat gw kaget adalah bagaimana Perpres ini seperti menarik kita kembali ke masa lalu. Ketika jargon Atas Nama Pembangunan mengemuka dengan gagahnya.
Gw sendiri nggak bisa ikut aksi siang itu. Gw hanya menunggu mereka lewat semua, lalu menemukan taksi dan segera berangkat ke Senayan untuk membawa makanan bagi Rere. Di dalam taksi otak gw berpikir keras (sudah agak jarang juga sih hal ini gw lakukan). Kalau dulu mungkin gw akan langsung ikut merapatkan barisan di sana dan ikut berkata-kata. Kali ini gw seperti tidak berdaya. Satu-satunya yang bisa gw lakukan adalah hal ini. Semoga bisa dipahami...
Sebelum sampai di Senayan, gw mendengarkan lagu U2 lewat iPod pinjaman.
Walk On
And love is not the easy thing
The only baggage you can bring...
And love is not the easy thing...
The only baggage you can bring
Is all that you can't leave behind
And if the darkness is to keep us apart
And if the daylight feels like it's a long way off
And if your glass heart should crack
And for a second you turn back
Oh no, be strong
Walk on, walk on
What you got, they can't steal it
No they can't even feel it
Walk on, walk on
Stay safe tonight...
You're packing a suitcase for a place none of us has been
A place that has to be believed to be seen
You could have flown away
A singing bird in an open cage
Who will only fly, only fly for freedom
Walk on, walk on
What you got they can't deny it
Can't sell it or buy it
Walk on, walk on
Stay safe tonight
And I know it aches
And your heart it breaks
And you can only take so much
Walk on, walk on
Home...hard to know what it is if you never had one
Home...I can't say where it is but I know I'm going home
That's where the heart is
I know it aches
How your heart it breaks
And you can only take so much
Walk on, walk on
Leave it behind
You've got to leave it behind
All that you fashion
All that you make
All that you build
All that you break
All that you measure
All that you steal
All this you can leave behind
All that you reason
All that you sense
All that you speak
All you dress up
All that you scheme...
Music: U2
Lyrics: Bono
No comments:
Post a Comment