Thursday, June 14, 2007
Under The Bridge
Words: Edwin Irvanus & Awali S. Thohir Photography: trd wijaya
Kisah sebuah kampung Jakarta yang berada di kolong roda, tetapi tidak takut ambruk.
Abraracourcix, kepala kampung Ghalia di dalam komik Asterix tidak akan cocok tinggal di kampung ini. Abraracourcix selalu takut kalau langit runtuh menimpanya, sedangkan di kampung yang satu ini, bukan langit yang mungkin runtuh, melainkan aspal beton dan tiang-tiang konstruksi. Memang, kampung yang kami datangi kali ini bukan sembarang kampung, inilah kampung Kolong Tol.
Jika kita melangkahkan kaki masuk ke kampung ini, segera terasa perbedaan nyata dengan kampung-kampung Jakarta lainnya. Kapanpun kita datang, kita disambut suasana temaram dan hawa sedikit lembab. Sesekali terdengar deru laju kendaraan di atas kepala. Tak jarang pula terasa getaran-getaran kecil, seolah-olah kampung ini diserang gempa. Kami segera disergap rasa waswas. Bagaimana jika selama kunjungan ke kampung ini, jalan tol di atasnya runtuh menimpa kami? Tentu kami akan mati bergelimpangan, seperti nyamuk yang baru ditepuk.
Kampung kolong tol terletak di bawah jalan tol lingkar utara, ke arah Bandara Soekarno-Hatta, di dekat pintu tol Gedong Panjang 1. Tepatnya di Jalan Rawabebek, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Lokasinya memanjang sekitar 2 kilometer, dengan lebar 25 meter. Namun, kampung kolong tol di Jakarta tidak cuma ada di Rawabebek, tetapi juga di 8 lokasi lain, yaitu Warakas, Sungai Bambu, Kebon Kelapa, Jalan Tongkol, Kampung Walang, Jembatan Tiga, Petak Seng, dan Kalijodo. Mereka kini mengorganisasikan diri di dalam Ikatan Keluarga Besar Kolong Tol (IKBKT). Kampung Kolong Tol Rawabebek yang kami datangi, kini dihuni sekitar 1750 keluarga yang terbagi dalam 7 blok. Mulai dari Blok A hingga Blok G.
Di kampung ini, kami disambut Wartiyah. Wanita berusia 44 tahun yang berprofesi sebagai tukang jahit itu telah 7 tahun menghuni sebuah petak dua lantai berukuran 3 x 5 meter persegi, di kolong tol Rawabebek ini. “Kami mengerti bahwa ada bahayanya tinggal di kolong tol, tetapi selama ini kami selalu aman dan bisa menjalankan kehidupan dengan tenang,” ungkapnya. Ancaman musibah dan bencana alam akan diterimanya sebagai takdir dari Yang Kuasa. “Tidak perlu tinggal di kolong tol, manusia juga bisa mengalami tsunami atau gempa bumi, pokoknya jika itu yang dikehendaki Yang Maha Kuasa, maka itu yang akan terjadi, di manapun kita berada,” katanya menegaskan keyakinannya.
Hampir seluruh petak di kolong tol ini berukuran 3 x 5 meter persegi, karena mengikuti tiang rangka penopang jalan tol. Petak-petak itu berhimpitan satu sama lain dan dipisahkan gang-gang kecil, gelap dan lembab. Sebagian petak telah dibangun permanen dengan menggunakan batubata, tetapi sebagian lagi masih semipermanen dengan papan-papan tripleks.
Tidak ada satu rumah pun yang membutuhkan atap pelindung tambahan di atas petak-petak yang mereka tinggali. Semuanya memanfaatkan aspal tebal di atasnya untuk melindungi diri dari panas dan hujan. Sebagian petak memanfaatkan tinggi jalan tol yang sekitar 6-7 meter untuk membangun 2 lantai di petaknya, sehingga mampu menampung lebih banyak kepala. Tetapi untuk lokasi-lokasi yang cukup rendah, bahkan ada keluarga yang harus selalu merunduk di dalam rumah, karena posisinya berada di tanjakan/turunan jalan.
Awalnya Tempat Pembuangan Sampah
Salah satu warga pioneer di tempat ini adalah Ibrahim (49 tahun). Kepada kami, Ibrahim mengisahkan bahwa usai pembangunan jalan tol di tahun 1995, belum ada warga yang tinggal di kolong tol. Kondisinya saat itu sangat memprihatinkan, jorok, becek dan penuh sampah. Rupanya warga di sekitar jalan tol memanfaatkan lokasi ini untuk membuang sampah domestiknya. Salah satu warga yang juga pendahulu di kolong tol ini adalah Nurdin. Pria yang berasal dari Aceh ini menceritakan bahwa dahulu dari pinggir jalan ke petaknya harus menggunakan titian karena masih banyak genangan air.
Baru pada saat krisis moneter menghantam Indonesia sejak paruh kedua tahun 1997, banyak orang jatuh miskin mendadak. Lambat laun orang mulai berdatangan dan menempati lokasi ini. Ibrahim dan beberapa orang pendahulu pun mulai membersihkan gunungan sampah di sana, lalu sedikit demi sedikit mengurug tempat itu dengan puing-puing bangunan dan mendirikan petak-petak di sana.
Namun saat itu masih banyak warga di sekitarnya yang membuang sampah di tempat yang telah dibersihkan itu. Baru setelah dilakukan pendekatan khusus, warga di sekitar jalan tol mau berhenti membuang sampah di sana. “Saya mengatakan bahwa saya tinggal di kolong tol, jadi tolong jangan diberi sampah lagi.”
Mengetahui hal itu, warga pun mulai berhenti membuang sampah di tempat itu. Mereka pun mulai mematok-matok tanah di kolong tol itu sebagai miliknya. Sebagian ada yang menjadikannya tempat usaha, ada pula yang menyewakan petak atau menjual kavlingnya pada orang lain. Seperti Wartiyah dan Darto suaminya, membeli petaknya dari warga Rawabebek (di luar kolong tol) dengan harga Rp. 350.000,-
Ragam Suku, Ragam Profesi
Lambat laun, rumah-rumah petak semakin padat dan warung-warung kecil muncul hampir di sepanjang ruas jalan. Sebagian warga kolong tol memanfaatkan petak-petak yang menghadap ke pinggir jalan untuk membuka kios kelompok usaha bersama. Ada kios kelompok pedagang sayur, pedagang siomay, pedagang baso, dan kelompok konveksi kecil-kecilan. Kelompok usaha konveksi bahkan sudah bisa menyuplai kain lap dan sepatu bayi ke beberapa supermarket, selain menerima jahitan pesanan. Bahkan ada advertising yang membuka kios di kolong tol ini. Tentu saja bukan yang berskala besar atau internasional, melainkan tukang membuat reklame dan spanduk. Sebagian kios ternyata dimiliki juga oleh warga sekitar kolong tol.
Sebagian warga kolong tol bekerja di sektor informal lainnya, seperti pemulung, kuli bangunan, buruh pabrik, supir berbagai kendaraan umum, tukang cuci, tukang sapu hingga pekerja seks komersial (PSK). Selain profesi, warga kolong tol juga memiliki keragaman latar belakang suku, mulai dari Jawa, Sunda, Batak, Minang, Makassar, hingga Cina.
Beragamnya latar belakang suku dan profesi warga kolong tol, tidak menjadikan mereka bersaing atau bermusuhan. Sebaliknya mereka hidup dalam kekerabatan yang erat. Hubungan akrab itu disebabkan berhimpitannya jarak antara petak mereka. Praktis tiap warga sangat dekat dengan tetangganya. Mereka senantiasa melakukan segala hal bersama-sama. Setiap keluarga memasak di depan rumah untuk menghindari kebakaran, sehingga setiap rumah bisa saling mencicipi masakan tetangganya. Ibu-ibu mencuci dan memandikan anak bersama. Anak-anak kecil pun bermain-main bersama keluar masuk kampung.
Selain itu mereka juga menciptakan unit kerja-unit kerja khusus yang mempermudah kehidupan mereka, misalnya: unit kerja kesehatan, unit kerja tabungan, unit kerja pendidikan bahkan hingga unit kerja penanganan kekerasan dalam rumah tangga. Mereka senantiasa berusaha untuk membantu menyelesaikan masalah warga kolong tol secara mandiri. Seperti unit kerja pendidikan memberi pendidikan bagi anak putus sekolah dan unit kerja penanganan kekerasan dalam keluarga membantu menyelesaikan masalah keluarga. “Maklumlah di tempat yang sarat dengan kemiskinan, kekerasan dalam keluarga tumbuh subur sebagai pelampiasan,” ungkap Wartiyah yang juga terlibat di unit kerja penanganan kekerasan dalam rumah tangga.
Pemukiman Ilegal
Hidup di kolong jalan tol bukan tanpa masalah. Wartiyah sendiri mengakui bahwa seringkali di musim panas petak-petak yang mereka tempati dipenuhi debu dari jalan tol di atasnya. Mereka sendiri hanya bisa berharap tidak ada penyakit yang menyertai debu-debu itu. Selain itu, kondisi pemukiman yang kumuh dan berhimpitan itu tentu beresiko kebakaran dan wabah penyakit. Warga kolong tol sendiri selalu siaga terhagap berbagai kemungkinan, sehingga berbagai langkah antisipasi selalu mereka lakukan semampunya. Misalnya mereka menciptakan aturan dilarang memasak di dalam rumah atau dilarang membakar sampah di kolong tol, untuk menghindari kebakaran. Sejauh ini semua berjalan baik-baik saja.
Namun yang paling mengusik ketenangan warga kolong tol adalah ancaman penggusuran. Sejak tahun 2002, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) menghembuskan isu penggusuran. Lewat selembar surat, pihak kementrian mengumumkan bahwa kolong tol tidak didesain untuk pemukiman, sehingga warga yang menempati lokasi itu harus mengosongkannya. Pemukiman di kolong tol dikategorikan sebagai ilegal dan kumuh, seperti pemukiman bantaran sungai dan pinggir rel kereta api.
Status pemukiman kolong tol ini sebagai ilegal dan kumuh pada gilirannya merugikan warga kolong tol. Karena status ilegalnya, pemukiman kolong tol tidak memiliki struktur pemerintahan di tingkat paling bawah seperti RT dan RW. Meskipun di internal warga fungsi ini digantikan dengan fungsi blok yang tidak memiliki legitimasi apapun di muka pemerintah.
Absennya fungsi pemerintahan resmi di tempat ini melahirkan dampak beruntun. Warga tidak bisa membuat Kartu Keluarga dan KTP, tidak bisa membuat akta kelahiran dan surat kematian, tidak bisa mendapat kartu Keluarga Miskin (Gakin). Tanpa kartu Gakin, mereka tidak bisa mendapat bantuan pemerintah seperti beras murah, Asuransi Kesehatan Orang Miskin (Askes-kin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ketika banjir melanda tempat ini di tahun 2002, warga pun tidak berhak mendapat bantuan karena bukan warga resmi.
Lucunya, meskipun demikian warga kolong tol mendapat jatah listrik resmi lengkap dengan meterannya di setiap rumah. Mereka juga didata berulang-ulang ketika Pemilu dan mendapat kartu pemilih dengan status domisili di RT/RW. 00.
Wartiyah mengisahkan bahwa pernah suatu kali ada bayi dari warga kolong tol yang meninggal, namun tidak bisa dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum karena tidak mendapat surat kematian dari instansi pemerintah. Setelah diancam bahwa mayat jabang bayi itu akan ditinggalkan di kantor instansi itu, barulah surat kematian akhirnya bisa diterbitkan.
Ancaman Penggusuran
Ancaman penggusuran muncul sejak tahun 2002. Ketika itulah warga mulai mengorganisir di dalam IKBKT. Lewat organisasi ini, mereka mendata seluruh penghuni warga kolong tol. Awalnya hanya mencakup kolong tol Rawabebek saja, namun kini sudah meliputi 9 wilayah.
Pada tahun 2002 itu, warga kolong tol Rawabebek menyiapkan konsep yang diajukan kepada Menkimraswil Soenarno. Konsep itu berisi data penghuni, peta wilayah dan rancangan penataan yang disiapkan oleh arsitek. Setelah pengajuan konsep itu kepada menteri, warga kolong tol Rawabebek dihadiahi SK Menteri Kimpraswil No. 214/KPTS/M/2002 tentang izin tinggal sementara di kolong tol.
Dengan SK tersebut, pemerintah seolah-olah mengakui keberadaan warga kolong tol untuk bermukim dan memanfaatkannya sebagai tempat usaha. Bahkan Menkimpraswil Soenarno dahulu sempat 2 kali berkunjung ke Rawabebek. Selain Menteri, Nobel Peace Prize Winner, Shirin Ebadi dari Iran dengan disponsori Kedutaan Besar Swiss di Indonesia juga sempat berkunjung ke tempat ini di tahun 2003 dan berdiskusi dengan warga. Kedutaan Besar Swiss lalu menindaklanjuti kunjungan Ebadi dengan menyumbang 20 mesin jahit untuk warga memulai usaha konveksi.
Namun setelah ganti kabinet, Menkimraswil baru, Joko Kirmanto, menerbitkan SK Menteri Kimpraswil no. 374 yang mencabut SK sebelumnya dan melarang warga bermukim di kolong tol. Warga kolong tol diberi tengat waktu hingga Februari 2007. Karena itu, warga kolong tol mulai digusuri, dimulai dari Kalijodo dan Petak Seng, lalu akan segera menyerang Rawabebek juga.
Warga sendiri sempat menanyakan apa sebabnya warga dilarang tinggal di kolong tol. Ketika itu, warga diberi jawaban oleh Kasubdit Monitoring dan Evaluasi Jalan Tol Ditjen. Bina Marga, T. Anshar bahwa mereka akan merusak konstruksi jalan tol. Tetapi warga berkilah lagi bahwa pemukiman mereka sudah ditangani arsitek dari beberapa NGO yang sudah mengantisipasi agar bangunan pemukiman warga tidak mengganggu konstruksi jalan tol. Caranya yaitu dengan melapisi tiang-tiang penopang jalan tol tersebut dengan lapisan baru.
Tetap di Kolong Tol
Pemerintah sebenarnya sudah menawarkan solusinya. Warga diajak pindah dan mencicil rumah susun Marunda. Pemerintah sudah menyediakan 3 blok di sana, tinggal menunggu fasilitas PAM dan PLN. Menkimpraswil Soenarno sendiri selama bertugas di kabinet telah menegaskan bahwa warga akan direlokasi secara bertahap ke rusun. Namun relokasi itu beritanya tidak berkelanjutan lagi, tidak seperti kabar penggusuran.
Warga sendiri belum menganggap relokasi ke rumah susun itu sebagai langkah paling tepat. Dengan rumah susun, tidak sedikit warga yang akan mendapat kesulitan baru. Pertama, karena mereka harus menyewa atau mencicil lagi rumah susun itu dengan harga yang cukup besar dan masa cicilan cukup panjang. Rata-rata penghasilan mereka tidak memadai untuk mengambil cicilan itu.
Kedua, tidak kondusifnya rumah susun untuk melanjutkan usaha mereka. Banyak di antara warga kolong tol adalah pedagang kaki lima atau pemulung yang mengandalkan kondisi pemukiman mereka saat ini. Mereka sendiri menyebutkan dengan profesi mereka sekarang, di manapun mereka bermukim akan membangun wilayah pemukiman yang mirip lagi, karena mereka harus menumpuk hasil pekerjaannya di sekitar pemukiman.
Warga kolong tol sendiri berharap mereka bisa tetap tinggal di kolong tol dan tidak lagi dianggap warga ilegal. Mereka sendiri tidak keberatan jika harus membayar PBB atau menjalankan kewajiban lainnya. Bagi mereka yang dibutuhkan saat ini adalah penataan, sehingga warga dapat hidup dan berkembang dengan sehat dan mandiri, tanpa ancaman penggusuran.
Kami sendiri berharap agar kedua pihak membuka diri untuk mencari solusi yang paling tepat. Apapun langkah penyelesaian yang diambil, hendaknya menjadi kesepakatan bersama antara warga dan pemerintah, serta senantiasa berlandaskan kemanusiaan dan keadilan. Bukankah kita sama-sama mendirikan negeri ini untuk kesejahteraan setiap orang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
7 comments:
Hmmm kerenn juga nih story-nya...
Nice article wink.. Gue baru tau kalo ada pemukiman di bawah jalan tol, pdhl udah lama ya? Satu pertanyaan gue, gimana dengan toilet dan sarana air bersih nya?
Toilet si MCK untuk rame2 gitu, termasuk tempat mencuci. Tapi kalo air minum, mereka beli air bersih pake jerigen gitu.
tulisan yang sangat menarik wink...
kabar-kabari gue kalo mau jalan ke lumpur lapindo atau aceh..
gue ada rencana nih...
Interesting article. Kasihan juga ya mereka mau digusur, tapi menurut gue emang gak bener mereka tinggal disono. Bukan semata-mata alasan estetika kota, tapi utk kebaikan mereka juga. Tinggal di tempat gelap/lembab/berdebu begitu mana bagus buat kesehatan? Ada update-nya gak nih?
hehe inget jaman kuliah ya wing...kita nulis-nulis yang kayak gini.
Erwin, salam kenal ya.
It is ironical nice story. Menurut gua relokasi ke rumah susun tidak akan memecahkan masalah. Biasanya mereka akan menjual kapling rusun itu terus pindah lagi ke 'comfort zone' sebagai warga terpinggirkan. *sigh...*
Post a Comment