Saturday, October 07, 2006

Ketika Musim Kemarau Tiba a.k.a. Hazy Days



Bung yang satu ini mengutip beberapa blog dari negeri jiran yang mengomentari petaka kabut asap yang selalu jadi tamu rutin kawasan ini ketika musim kemarau tiba. Diantaranya adalah tulisan blogger dari Singapura, Sarawak, ada pula yang mengirim surat terbuka pada Perdana Menteri Malaysia, memaki dengan ucapan f***ing do something, Indonesia, atau berujar SINK INDONESIA!. Wah, rupanya negara kita pandai sekali membangkitkan kemarahan orang. Baik anak bangsa sendiri, maupun dari negeri tetangga.

Gw bisa mengerti kemarahan warga negeri jiran itu. I've been there. Ketika pernikahan ade gw yg jadi staf kejaksaan di Palangka Raya, gw menghabiskan waktu di kota itu hampir 2 minggu, dari 6 Oktober 2002 sampai 20 Oktober 2002.

Selama 2 minggu penuh itu, seluruh kota diselimuti kabut asap. Pernikahan pun berlangsung di balik kabut (literally). Suasana siang hari terasa sangat abu-abu dan bau. Kalau malam, gelap, keruh dan menyengat. Kita sudah nggak bisa tahu apakah badan kita bau asap atau tidak, karena seluruh kota sedang berbau asap. Setiap hari rambut sudah jadi kotor lagi, meskipun selalu keramas. Selera makan pun anjlog ke titik nadir. Airport ditutup, jadi jalan satu-satunya untuk meninggalkan kota itu harus melalui jalan darat ke Banjarmasin. Itu artinya untuk lepas dari kabut asap yang menyiksa itu pun harus menempuh perjalanan beberapa jam dulu, baru bisa berteriak bebas hoy...

Sepanjang jalan dari dan menuju Banjarmasin, bisa kita lihat hutan semak-semak yang terbakar dan memproduksi kabut asap - yang lantas kita ekspor ke negeri-negeri jiran itu. Bukan kebakaran besar dengan api berkobar-kobar, tetapi bara merah yang memakan daun, ranting dan dahan tanaman-tanaman itu perlahan-lahan. Kadang-kadang jika angin datang, bara memang terpercik jadi api kecil, tapi kemudian api padam dan menyisakan bara yang lebih banyak dan melanjutkan aktivitas produksinya.

Rasanya? seperti berada di dekat bakaran sampah setiap saat, tanpa bisa menghindar sama sekali. Mata perih sepanjang waktu, napas sesak tak ada jeda. Seperti ditusuki jarum terus menerus di seluruh tubuh yang perlahan-lahan akan membunuh kita.

Petaka kabut asap memang jadi tamu rutin kita setiap musim kemarau tiba. Gw mulai menyimak berita-beritanya mulai sekitar tahun 1996-1997. Gw ingat di salah satu edisi akhir tahun 1997, sebuah majalah berita lokal saat itu sempat memuat karikatur bencana yang menimpa Indonesia sepanjang tahun. Diawali dengan kabut asap di awal tahun (api sebenarnya mulai terpercik sejak Oktober 2006, tapi sampai berganti tahun memang tak kunjung padam), lalu kelaparan di beberapa kota pada triwulan pertama, lalu krisis moneter mulai 'mengobok-obok' Indonesia sejak paruh kedua hingga akhir tahun (eh apa hingga kini ya?). Wah benar-benar tahun air mata deh kala itu.

Kabut asap akibat kebakaran hutan ini memang menyerang negeri jiran dari Malaysia dan Brunei, bahkan bisa sampai Thailand. Tapi di dalam negeri juga bukan tak jadi korban. Selain Palangka Raya dan dan beberapa bagian di Pulau Kalimantan, sebagian Sumatra pun jadi korbannya, mulai dari Medan, Riau, hingga Palembang. Rupanya cita-cita Bung Karno agar bangsa kita bisa menjadi dian yang tak kunjung padam, berhasil kita transformasi di penghujung abad 20, menjadi bara yang tak kunjung padam.

Setiap tahun, peristiwa kebakaran hutan ini selalu disebut sebagai bencana atau petaka. Semakin rutin hadir, pemerintah tampaknya mulai merasa hal ini biasa saja dan minta dimaklumi. Toh ini bencana, bukan kami yang minta. Toh kabut ini akan hilang, kalau musim hujan datang. Padahal bencana tahun 1997 saja sudah merugikan kita hingga US$ 9.3 triliun. Bagaimana mau nggak krisis, kalau devisa dibiarkan terbakar begitu saja hingga begitu besar kerugiannya.

Gw gak tahu sih langkah apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk mencegah what-so-called petaka atau bencana ini. Tetapi yang jelas 9 tahun ini terbukti, bahwa kalaupun pemerintah pernah berusaha melakukan tindakan preventif maupun tindakan penyelesaian, hal itu tidak membuahkan hasil sama sekali.

Lucunya, ketika didemo Greenpeace minggu lalu, Menhut MS. Kaban justru meminta keadilan dari Greenpeace,"Di Amerika juga tiap tahun terjadi kebakaran hutan, tidak ada demo Greenpeace ke sana. Tidak fair, kan?" Gw jadi mikir apa perlunya Menhut RI memusingkan kebakaran hutan di AS, apa bukan sebaiknya dia memikirkan bagaimana menghentikan kebakaran hutan dan kabut asap di INDONESIA saja? Sungguh bukti yang sangat memiriskan tentang kepeduliannya terhadap masalah ini.

Warga Palangka Raya pun sepertinya sudah bosan mengeluh dan membiasakan diri hidup dalam kabut itu (termasuk adik gw dan keluarganya di sana). Memang memikirkan kabut asap yang hadir setiap kemarau ini sangat memusingkan kepala, lebih baik menonton kemolekan Meriam Bellina dalam Ketika Musim Semi Tiba (yang tidak lulus sensor di tahun 1980-an itu lho), sambil berdoa semoga besok hujan turun dan asap segera pergi.

Tetapi petaka kabut ini rupanya berbuntut panjang bagi kami. Anak adik gw itu - keponakan gw - yang baru berusia 3 tahun didiagnosis menderita bronchitis akibat kabut asap ini. Bayangkan, anak sekecil itu tiap hari harus tidur dengan nafasnya yang melenguh sesak dan terdengar sangat menyedihkan. Rapat keluarga pun segera digelar, hasilnya keponakan gw yang imut-imut itu akan tinggal bersama neneknya di Jakarta untuk sementara waktu, hingga sembuh dan orang tuanya bisa menyelesaikan urusan permohonan mutasi ke kota lain, tentunya yang tidak terkena petaka ini.

Keponakan saya memang boleh dibilang masih beruntung karena bisa punya pilihan. Tetapi bagaimana dengan ribuan anak Kalimantan lainnya yang mau tidak mau harus menerima petaka ini - hidup berselimut kabut tanpa ada pilihan. Apakah mereka harus menerima petaka ini sebagai berkah? Mau di mana diletakan muka bangsa kita kalau berhadapan dengan negeri jiran? Petaka kok jadi tradisi, tanya kenapa?

No comments:

IBX5899AACD4E772