Wednesday, August 17, 2005

Artificial Independence: AI




Di tengah riuh rendah Perayaan 60 Tahun Indonesia Merdeka tahun ini, gw menemukan beberapa kejadian yang membuat gw jadi berpikir lagi tentang makna kemerdekaan sebuah bangsa.

Kejadian pertama terjadi sekitar tengah hari. Berkat adzan dzuhur berkumandang lewat corong mushola dekat kos, gw terbangun dari tidur yang sangat nyenyak. Setelah bersih-bersih badan sedikit, terasa perut lapar menuntut hak. Gw langsung turun dari kamar gw di lantai 3. Di teras kos yang ada di lantai 2, gw sempat melihat seorang Nigeria yang kos bareng gw bertransaksi di teras dengan seorang cewek. Jangan salah sangka, dia bertransaksi kain batik murahan, bukan transaksi narkoba. Lewat Bahasa Inggris yang sama-sama nglantur tapi dimengerti satu sama lain, gw paham agaknya si cewek ini memasok kain batik cetakan (atau kain sejenis) tadi untuk si Nigeria. Sambil makan makan di warteg, gw nonton duel sepak bola bocah-bocah Kebon Kacang yang main di lahan seadanya di belakang Pasar Gandaria. Gw melihat Pak RT semangat sekali membela salah satu tim, sampai pake ada aksi protes segala. Habis makan, gw langsung pulang. Tepat di depan kost gw, ternyata ada keramaian berlangsung. Tetangga-tetangga bilang ada anak kos berantem.

Ternyata yang berantem adalah si cewek yang tadi jualan batik di teras kos dengan ibu yang tinggal tepat di depan kos gw (Jl. Kebon Kacang II) yang dibantu anak ceweknya. Waktu gw datangi, si ibu tetangga sedang jenggut-jenggutan dengan cewek penjual batik itu. Sementara anak si ibu tetangga sedang memukuli kepala belakang si cewek penjual batik dengan helm. Lalu motor si cewek penjual batik ini pun runtuh menimpa si ibu dan si cewek. Gw langsung berusaha memisahkan mereka sendirian dan merasakan juga sedikit pukulan dari si ibu, anaknya dan suaminya. Nggak berapa lama, perkelahian itu langsung menarik perhatian orang. Tadinya gw menyangka kalo orang sudah ramai, kedua oknum yang berkelahi ini akan malu dan berhenti. Orang-orang pun seharusnya berusaha melerai, mencari tahu dan mendamaikan.

Tak dinyana, ternyata yang ada si ibu berhasil menyulut kemarahan massa. Rupanya si ibu ini sudah 3 kali mengamati cewek itu dalam seminggu terakhir bolak-balik ke atas. "20 menit naik ke atas terus turun lagi, ngapain coba kalo bukan ngelonte" katanya. Si cewek membela diri, "Enak aje, gw punya konpeksi, gw ke atas jualan barang jaitan". "Ah.. prett... Nonok lo tuh yang perlu dijait, biar nggak ngelonte di kampung orang. Kalo ada yang berzinah kayak lo, sial kami sekampung." Yang terjadi kemudian, massa menggebuki cewek ini beramai-ramai, tua-muda-anak-anak, laki-pere-banci. Semua orang dengan mata-mata penuh amarah. Mengerikan sekali, sungguh!

Tiba-tiba ada yang nyeletuk, pasti di tasnya ada putaw. Lantas handbag si cewek pun diperiksa ramai-ramai. Sempat gw saksikan ada beberapa orang yang menarik lembaran 50-ribuan yang menyembul dari dompet si cewek. Gw masih berusaha menenangkan semua orang sendirian. Gw berteriak-teriak menyuruh semua orang untuk istighfar dan membicarakan masalahnya. Yang ada gw dibentak Pak RT, "Lo diem aja deh!" Si cewek sudah tenang dan mau pergi, tetapi waktu dia minta tasnya, giliran pak RT beraksi dengan tidak mau mengembalikan tas si cewek dengan alasan mau periksa narkoba. Si cewek mulai meraung-raung lagi.

Mulailah dia diseret ramai-ramai ke mulut gang. Ada yang membawakan motornya juga (tapi kalo yang ini tampaknya berusaha membantu). Sementara si ibu yang mula-mula menggebuki tidak ikut menyeret si cewek tetapi dia nyerocos terus. Dia bicara soal kutukan yang akan menimpa sebuah kampung jika membiarkan perzinahan berlangsung. Since, dia ngajak ngomong soal hukum islam, gw coba ladeni dikit. Gw bilang,"Setahu saya bu, kalau dalam Hukum Islam itu, tuduhan berzinah harus disaksikan oleh 4 pasang mata, harus kepergok lagi melakukan. Gak bisa cuma kelihatan turun doank, kalo itu namanya bukan zinah tetapi fitnah", kata gw. Lalu si ibu menjawab, "Ah Tai, kalo buat gw sih peduli hukum apaan, yang kayak gitu gw bunuh sekalian juga nggak apa-apa. Adek belon tau sih, udah sering Niger2 ini digerebek ama orang masjid, kagak pernah kapok." Gw lalu menjawab lagi,"Itu namanya ibu mau menjalankan Hukum Islam setengah-setengah. Sama aja kagak mau puasa tetapi minta jatah buka. Lagian saya ngeliat kok, cewek itu dagang batik di teras atas. Ibu kagak ngeliat khan?" Si ibu cuma melengos tak peduli.

Tiba-tiba Pak RT datang mengatakan semua sudah beres, si cewek sudah pergi dan dia ternyata tidak membawa narkoba. Saya memang melihat cewek itu sudah mengendarai motornya dengan kepala mengucur darah. Pak RT mengajak gw ke atas menemui orang-orang Nigeria yang kos bareng gw. Sambil naik dia minta maaf ke gw. "Maaf dek, tadi saya ngebentak. Adek nggak tahu masalah di sini sih.", katanya. Dia lalu mendatangi 3 orang Nigeria di kos gw itu dan menceritakan masalahnya.

Dengan Bahasa Inggris campur Indonesia yang patah-patah, salah satu orang Nigeria membenarkan kalau cewek itu mengantar batik untuk temannya. Lalu dia menuntut pada Pak RT, "The people treat us like this, because we're black. It won't matter if I am orang Jawa like the others. I saw another anak kost bring woman into their room and nobody knocked on their door.." Pak RT lalu menjawab, " You tourist... stay at hotel... not kos-kosan..." Si Nigeria ini lalu menjawab, "But you've seen my work permit, it's cheaper to live at kos-kosan, And I've paid the rent until October", katanya. Tetapi Pak RT tampak sudah tidak peduli atau tidak mengerti. Gw juga sudah tidak peduli.

Gw merasa seperti Elia yang tidak sanggup mencegah Bangsa Israel untuk menolak menyembah Ahab atas perintah Izabel. Gw merasa seperti Elia yang tidak sanggup mencegah kejahatan Imam Agung dan menyebabkan kehancuran kota Zarfat (Akbar). Gw merasa sangat tidak berdaya. Gw cuma berusaha melupakannya dan merasa sudah berupaya maksimal meskipun tak ada hasilnya.

Jam 3 sore, gw berangkat ke kantor. Setelah menaiki ojek, motorpun segera dijalankan menyeberang jalan. Lewatlah seorang warga dengan mobil Suzuki Carry. Si pengemudi bercanda-canda dengan orang di pinggir jalan tanpa mengurangi sedikit pun kecepatan mobilnya. Alhasil, motor yang gw tumpangi ditabrak telak meskipun gw sudah berteriak keras banget untuk mengingatkan si pengendara mobil dan tukang ojek. Tetapi kejadiannya begitu cepat. Gw terlempar hingga jatuh mengangkangi selokan yang cukup lebar (untung nggak kecebur). Tetapi celana gw terkena lumpur di pinggir got dan jadi kotor sekali. Gw ditolong beberapa anak muda yang tadi nongkrong di sekitar situ dan bercanda dengan si sopir mobil.

Rupanya beberapa diantaranya ikut ngegebukin cewek tadi. Karena ada di antara mereka yang menyebut gw dengan julukan si mas yang tadi ada di tempat berantem. Mereka baik semua, karena membantu gw membersihkan diri di keran warung nasi uduk dekat sana. Setelah memastikan gw nggak luka sedikit pun. Anak-anak muda itu lalu berkata kepada si penabrak yang notabene teman mereka juga, "Udeh lo pergi aja, mas-nye kagak kenape-nape." Lalu si pengemudi yang jelas-jelas menabrak karena kesalahannya bercanda dengan orang di pinggir jalan sambil nyetir itu pun pergi begitu saja. Gw yang masih syok cuma bisa terbengong-bengong bego, melihat kenyataan itu.

Setelah orang itu pergi gw mulai mencoba menggerakan kaki yang ternyata sakit sekali. Sampai malam ini keseleo dan nyeri ototnya terasa dari betis sampai ke punggung. Tetapi sakit di badan itu tidak lebih penting dari pada sakit di hati gw. Rasa keadilan begitu diinjak-injak oleh sesama warga biasa. Ada orang tidak bersalah yang digebuki rame-rame dan ada orang bersalah yang dibiarkan pergi begitu saja.

Tiba-tiba gw sadar, ternyata sejatinya kita adalah penjajah!

Gw jadi inget pemandangan di kereta ekonomi Yogyakarta-Bandung dalam perjalanan pulang dari Kongres AJI I yang gw hadiri 10 tahun lalu. Ketika itu gw ngeliat puluhan ibu-ibu terpaksa berdiri, sementara ada beberapa orang yang memilih tidur rebahan di kursi untuk 3 orang dan pura-pura begitu lelap sehingga nggak bisa dibangunin. Waktu itu, gw akhirnya menyuruh ibu-ibu dan perempuan yang berdiri itu untuk menduduki punggung dan kaki si orang tidur yang nggak tau diri ini. Jadi mau nggak mau dia bangun. Trik itu berhasil sekitar 3 atau 4 kali dalam perjalanan itu, sementara gw tetap berdiri atau duduk di lantai dari Yogya sampai Bandung.

Sampai di Bandung gw bertanya pada Trisno, mengapa ada orang miskin menindas orang miskin juga seperti itu. Lalu Trisno menjawab, "Karena dalam hidup mereka sudah selalu ditanamkan budaya penindasan. Mereka juga selalu ditindas oleh orang-orang yang berkesempatan menindas mereka. Itu artinya berlapis-lapis. Jadi ketika sedikit saja mereka memiliki alat kekuasaan, seperti naik duluan di kereta ekonomi begitu, langsung mereka manfaatkan untuk menindas juga. Makanya di beberapa kantor, satpam bisa lebih galak daripada direktur, karena level ketertindasan si satpam dengan direktur berbeda jauh.

Mengingat semua itu gw jadi sedih dan takut banget. Mungkin pula tanpa sadar gw juga sudah menindas orang lain. Hanya karena gw berpikir gw benar dengan cara gw sendiri. Kepada semua orang yang pernah gw tindas dengan cara apa pun, gw memohon maaf sebesar-besarnya. Ini akan menjadi sebuah 'peringatan' yang sangat berarti bahwa sudah 60 tahun kita merdeka tetapi belum lepas juga dari penindasan. Kerja belum selesai. Belum apa-apa. Semua masih berupa simbol-simbol tanpa makna. Sebuah kemerdekaan simbolik karena belum memerdekakan warganya. Sebuah kemerdekaan yang tidak membebaskan. Sebuah kemerdekaan yang artificial. Artificial Independence!

Sekarang gw harus mulai berpikir untuk membangun kembali. Seperti Elia membangun kembali kota Akbar. Seperti Elia memulai dari dirinya. Seperti juga Elia, gw kini memilih untuk dibaptiskan dengan nama Pembebasan. Kendati pembaptisan kali ini tidak dilakukan di air atau di atas altar suci, melainkan hanya di dalam hati.
Semoga gw bisa...


CAHAYA BULAN
Composed by Eross So7, Lead Vocal: Okta

Perlahan sangat pelan
Hingga terang kan menjelang
Cahaya kota kelam
Mesra menyambut sang petang

Di sini ku berdiskusi dengan alam yang lirih
Kenapa matahari terbit menghangatkan bumi

Aku orang malam yang membicarakan terang
Aku orang tenang yang menentang
kemenangan oleh pedang...

Perlahan sangat pelan
Hingga kadang kan menjelang cahayanya
Nyali besar mencuat runtuhkan bayang

Di sini ku berdiskusi dengan alam yang lirih
Kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi

Aku orang malam yang membicarakan terang
Aku orang tenang yang menentang
kemenangan oleh pedang...

Cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan...
Yang takkan pernah kutahu di mana jawaban itu
Bagai letusan berapi bangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati

Terangi dengan cinta di gelapku
Ketakutan melumpuhkanku
Terangi dengan cinta di gelapku
Di mana jawaban itu...

No comments:

IBX5899AACD4E772