Monday, January 08, 2007
THE ONE WITH LIVING LIFE LIKE SITCOMS
Setidaknya belajarlah tertawa untuk pahit-manis kehidupan
Lisa : You ? But you're an intelligent person, Mom.
Marge : There has to be more to life than just what we see, Lisa.
Everyone needs something to believe in
Lisa : It's not that I have a spiritual side…
I just find it hard to believe there's a dead angel hanging in our garage
Marge : Oh, my poor Lisa.
If you can't make a leap of faith now and then, well, I feel sorry for you
Lisa : Don't feel sorry for me,Mom. I feel sorry for you
(The Simpsons episode Lisa The Sceptical)
Pertemuan kembali di dunia maya dengan Wulan - seorang sahabat lama – mengingatkan betapa cintanya gw pada tayangan-tayangan situation comedy. Tayangan yang sering disingkat sitcom ini adalah genre tayangan komedi. Awalnya sitcom populer di radio Amerika, namun saat ini sitcom hanya bisa ditemui di televisi. Ciri khas yang membuat kita sering langsung ngeh dengan kehadiran sitcom adalah keberadaan laugh track yang biasanya menambah seru tawa kita saat menyaksikan kocaknya sitcom itu.
Perkenalan gw dengan sitcom berlangsung di pertengahan 1980-an ketika baru lepas balita dan mulai mengerti tontonan TV. Sepanjang ingatan gw, sitcom pertama yang membuat gw jatuh cinta dan hidup ketawa (bukan mati ketawa) a la sitcom adalah Mork & Mindy yang mempopulerkan nama Robin Williams dan ciri khasnya, “Nano-nano...”.
Lucunya, sejak awal gw tidak cuma menyukai family sitcom untuk anak-anak yang tayang sore hari di TVRI seperti The Cosby Show (Keluarga Pak Huxtable), Small Wonder (Vicky si Anak Ajaib), Valerie, The Hogan Family, A Different World, Full House, dan lain-lain, tetapi gw menggemari sitcom dewasa seperti hubungan kocak Larry dan Balky dalam Perfect Strangers, atau Laverne & Shirley yang diperankan Penny Marshall, sutradara chick flick kondang. Zaman itu, banyak sekali sitcom bermutu yang tayang di TVRI dan gw pun menjelma jadi penggemar segala jenis sitcom.
Masa bulan madu dengan sitcom gw alami di era TV swasta. Ketika baru lepas dari decoder, setiap hari TV swasta menayangkan beberapa sitcom. Sebutlah judul-judul semacam Mr. Belvedere, Who’s The Boss?, The Brady Bunch, Life Goes On, Happy Days, The Golden Girls, The Nanny, I Love Lucy (sitcom yang masih black & white), Blossoms, Mad About You, Night Court, The Odd Couple, Frasier, 3rd Rock from The Sun, Married… with Children, Mad About You, Dharma and Greg, Home Improvement, That 70s Show sampai The Addams Family. Tak cuma menonton filmnya, gw juga menghapalkan lagu-lagunya seperti Family Ties, As Long As We Got Each Other (Growing Pains), Thank You for Being A Friend (The Golden Girls), dan Where Everybody Knows Your Name (Cheers).
Ternyata gw cukup terpengaruh jenis tayangan ini. Gw pernah merengek minta dibuatkan eggnog kepada nyokap setelah menyaksikan The Jeffersons menyukai minuman ini. Gw belajar menghitung bunyi uang koin yang terjatuh untuk meniru Alex Keaton di Family Ties. Gw sempat ikut kebut-kebutan gara-gara Mike Seaver melakukannya di Growing Pains. Gw belajar minum bir karena menonton Cheers. Gw jadi tidak suka lagi dengan film-film Warkop DKI, karena ternyata meniru Three’s Company. Gw pernah menentang guru Bahasa Inggris gw di kelas 3 SMU di Aceh Timur, karena gw tergila-gila dengan demokratisasi kelas a la Head of The Class. Gw menjadi seorang blogger karena menonton Doogie Howser, M.D.. Bahkan kemudian gw bercita-cita menjadi jurnalis, karena menyukai nature of the job yang dilakoni Murphy Brown.
Puncak kecintaan pada sitcom adalah ketika serial Friends dan The Simpsons ditayangkan sekitar akhir 1990-an. Gw tak cuma menghapalkan lagu tema atau tingkah polah para karakternya, tetapi bahkan gw menghapalkan memorable quote dari kedua serial itu. Teman gw di bangku kuliah untuk mendiskusikan episode yang tayang setiap minggu ini adalah sahabat gw, Wulan.
Di era TV kabel gw mendapatkan puluhan pilihan lain. Lalu di era DVD, kecintaan gw terhadap sitcom bermuara pada hobi mengoleksi VCD dan DVD sitcom. Tak kurang selusin judul sitcom kini sudah gw koleksi dan gw masih siap berburu puluhan judul lainnya. Bahkan hingga tayangan sitcom lokal seperti Bajaj Bajuri, Kejar Kusnadi dan OB pun menjadi kegemaran gw. Tapi jaman dulu, sitcom lokal banyak yang cupu dan nggak lucu. Nggak usah disebut lah judulnya apa.
It’s enough about the facts, but what exactly the contributions of sitcoms for me? Well, secara tradisional sitcom menggambarkan kehidupan sebuah komunitas melalui kacamata komunitas itu, atau salah satu anggota komunitas itu. Fenomena yang digambarkan adalah fenomena kehidupan sehari-hari. Susah dan senang, tragedi dan komedi, konflik dan harmoni serta pahit dan manisnya kehidupan. Sitcom selalu bisa memberikan alasan mengapa konflik dan awkwardness bisa terjadi. Di sitcom, semua kepahitan, ironi, sakit hati, konflik, pengkhianatan, perselingkuhan dan kepedihan lainnya diobati dengan pengertian dan lantas, tawa.
Tayangan sitcom juga memberi kita kesempatan untuk tertawa pada realitas hidup. Ketika Joey Tribbiani (Friends) bertingkah aneh di sebuah casting yang menyebabkannya kehilangan pekerjaan, kita bisa tertawa. Ketika Lisa Simpson (The Simpsons) memutuskan untuk jadi atheis, kita bisa tertawa. Ketika melihat an ignorant and spoiled brat that everybody could hate, Rachel Green (Friends), kita bisa tertawa. Ketika Grace Adler dan Will Truman (Will & Grace) jadi bulan-bulanan cemoohan Karen Walker dan jack McFarland, kita bisa tertawa. Ketika Ross Geller (Friends) berulang kali kawin-cerai, kita bisa tertawa. Ketika Michael Bluth (Arrested Development) dikerjai terus-terusan oleh ayah, ibu dan keluarganya, kita bisa tertawa. Bahkan ketika menyaksikan keculasan Emak (Bajaj Bajuri)atau kegalakan Mpok Odah (OB), kita bisa tertawa. Padahal dalam kehidupan nyata, sikap asli kita mungkin kesal, gemas, marah, benci, jijik dan berbagai sikap negatif lainnya. Tanpa gw sadari ternyata sitcom berkontribusi untuk selalu bersikap positive thinking.
Hidup memang proses belajar. Setinggi apapun tingkat kecanduan gw pada sitcom, tentu gw masih harus belajar untuk tertawa menghadapi berbagai realitas manis maupun pahit. Untuk saat ini, cukup mencoba membangun cara pandang dulu, bahwa segala hal terjadi karena sebuah alasan dan ketika kita membangun jarak dengan realitas-realitas itu, maka kita akan bisa sampai pada titik yang mampu tertawa pada kehidupan.
Chandler: Do these look like the faces of people in the know?
(Friends Season 10 – Episode: The Last One part 1)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
kalo ada koleksi film nagabonar..
boleh tuh saya sangat berminat..
asrori.oi@gmail.com
thx b4
Post a Comment