Wednesday, July 20, 2005
HEMAT
Alkisah senin pagi minggu lalu, my darksoul mate -, bersungut-sungut menceritakan perihal club-club ibu Kota yang kini harus tutup pukul 04.00 dinihari. Jadi tak akan ada lagi hari-hari hardcore. tak akan ada lagi malam-malam panjang bak di surga, sekaligus di neraka. No more midnight in the garden of good and evil. Tapi bagi gw, ini bukan hal baru. Minggu sebelumnya, setelah kehilangan ponsel dan berbagai kesialan, gw sendiri mencanangkan gerakan pensiun dini, sekalian mengencangkan ikat pinggang. Gw hanya tersenyum simpul mendengar keluh kesah sahabat gw itu. Penutupan ini jadi semacam gayung bersambut dengan rencana gw.
Malam harinya, gw sampai di kos sekitar jam 01.20 dini hari. Gak usah kaget, gw memang semi workaholic, jadi jam seginian emang biasa baru pulang. Sampai di kos, seperti biasa langsung menyalakan TV dong. Yah, meskipun tidak sanggup lagi membayar Kabel, tetapi biasanya masih ada siaran tengah malam yang menarik. Setidaknya berita. Tetapi waktu menyalakan TV, gw gak menemukan satu channel pun yang nyala. Sebagai mahluk postmodern yang hidup di era informasi, gw langsung curiga ada yang salah dengan antenna TV gw. Langsung gw bongkar kabelnya dan memeriksa, lalu dipasang lagi, terus TV-nya distel lagi. Tetapi, lagi-lagi hanya menemukan semut-semut hitam putih menghiasi layar. Gw mulai takut TV-nya rusak, maka gw putuskan mencoba DVD. Ternyata nyala. Wah, lega banget rasanya karena ternyata TV nggak rusak. Gw mulai menghabiskan dini hari dengan nonton Sideways yang bagus banget itu (bagi yang pingin tahu kebagusannya Sideways, silakan klik di sini).
Pagi hari, ketika memulai aktivitas di kantor, tentu saja yang pertama gw buka adalah e-mail dan news website. Alangkah terkejutnya gw, ketika tahu musabab semut-semut hitam putih merubungi layar TV gw tadi adalah karena 'himbauan' atau 'anjuran' pemerintah kepada televisi dan radio swasta di Indonesia untuk melakukan pembatasan siaran, atas dasar Instruksi Presiden untuk hemat BBM yang diterjemahkan menjadi Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika no 11/11/P/M.KOMINFO/7/2005 yang mengatur tentang Pengurangan Waktu Siaran Lembaga Penyiaran di Seluruh Indonesia. Permen ini rasanya benar-benar gak enak, karena dia mewajibkan semua stasiun TV dan pemancar radio dimatikan. Selain itu kebijakan ini dilengkapi juga dengan anjuran untuk memasang AC di angka 25 derajat, tidak menggunakan jas, mematikan lampu jalan setengahnya. Oleh Bung Yos, kebijakan ini didukung penuh dengan aksi ancam-ancaman segala.
Sontak, gw seperti kebakaran jenggot dengan berita ini. Selaku manusia dini hari, gw memang bukan manusia televisi. Tetapi setiap hari setidaknya gw melakukan ritual menonton televisi setidaknya 15 menit sebelum mulai menyetel DVD dan tidur. Ketika hak menonton TV gw dicabut, rasanya ada yang hilang dan terasa sakit. Tetapi itukan kepentingan pribadi, masa harus menang daripada anjuran hemat BBM dari pemerintah yang sudah semestinya berada di atas semua kepentingan pribadi individu-individu manja yang hidup di negeri ini.
Tetapi benarkah pembatasan siaran televisi itu adalah untuk kepentingan umum?
Kalo versi gw sih ceritanya kira-kira begini:
APBN 2005 berjumlah Rp. 397 triliun. Sekitar Rp.100 triliun habis dipakai untuk subsidi BBM. Sementara harga minyak dunia melonjak terus, ini bakal mengakibatkan kebutuhan subsidi BBM naik terus hingga bisa mencapai Rp.250 triliun. Jelas tekor dong. Kalo zaman Orba sih, hal kayak gini biasanya ditanggulangi dengan memperbesar utang luar negeri (kebetulan gw pernah nulis ini di Polar tahun 1995). Tetapi di tengah hidup yang begini pahit karena trauma utang luar negeri warisan Orba, tentulah pilihan untuk menambah utang lagi bak hantu yang bergentayangan dan menakuti orang-orang.
Jalan pintas lainnya sebenarnya adalah mengurangi konsumsi BBM nasional yaitu dengan membuatnya mahal. Sebenarnya untuk mengatasi masalah ini, pemerintah bisa saja memotong subsidi BBM. Seperti biasa dengan alasan bahwa subsidi ini akan disalurkan kepada orang yang lebih membutuhkan atau untuk pembangunan sarana dan prasarana publik yang terutama akan menggairahkan ekonomi masyarakat. Daripada dipakai untuk membiayai mobil-mobil mewah yang berseliweran di jalan dan memacetkan jalan. Dengan BBM yang nirsubsidi, pemerintah bisa menanggulangi masalah kekurangan dana ini, plus mengurangi pemakaian alias penghematan BBM juga. Kalo bensin mahal, kan orang males bawa mobil kalo gak perlu-perlu banget. Sebisanya masih akan menggunakan transportasi umum. Jalan juga akan lebih tidak macet. Sementara sarana transportasi umum bisa dikembangkan dengan dana yang tadinya dipakai untuk subsidi. Ribet gak sih alirannya?
Masalahnya adalah, pemerintah baru saja mengambil kebijakan kontroversial mengurangi subsidi BBM ini sebelumnya dan hasilnya adalah panen aksi dan demo mahasiswa. Sebenarnya yang dituntut mahasiswa adalah transparansi pemanfaatan aliran dana subsidi yang dipotong itu. Sayangnya sejauh ini, pemerintah entah masih tutup kuping, entah tak acuh, entah ndak ngerti apa yang diteriakan mahasiswa itu. Maklumlah, demo kan biasanya panas-panasan dan pakai long march segala, sampai di istana negara, suara para demonstran sudah pada habis dan serak. Intinya pemerintah belum mau dan belum mampu memberikan penjelasan yang jelas terhadap tuntutan transparansi aliran dana tersebut. Maka pilihan untuk mencabut subsidi BBM adalah hil yang mustahal kalo kata Srimulat, eh.. hal yang mustahil maksudnya. Bak Soeharto dulu, gara-gara BBM yang tidak setitik itu, bisa terdongkel tuan dari kursinya. Jangan mengulang jejak kegagalan dong!
Ketika sadar bahwa pilihannya sangat terbatas. Mulailah pemerintah kebakaran jenggotnya. Dalam keadaan panik ini, dicarilah kambing hitam untuk mengatasi permasalahan ini. Ditudinglah kegiatan pembangkitan tenaga listrik sebagai sebab tingginya angka kenaikan BBM. Maka itu, pemerintah merasa perlu memotong dana ini dengan membatasi penggunaan listrik. Salah satu komponen yang akan mengurangi penggunaan listrik adalah penghentian siaran televisi dan radio ini. Karena ini berarti membuat stasiun televisi dan radio tidak perlu menyalakan piranti pemancar dan kantornya, sementara masyarakat juga mematikan TV dan lampunya. Nah, lebih ribet mana coba logikanya?
Gw sendiri gak tahu, sebenarnya seberapa persen penggunaan BBM ini tersedot oleh pembangkitan tenaga listrik. Tetapi kalau dari berita-berita dan analisis pakar, jelas lebih kecil ketimbang penggunaan BBM untuk kendaraan bermotor. Jadi melarang orang memakai jas, menghidupkan AC dan mengurangi jam siaran radio dan TV itu seperti gatal di hidung, yang dicabut bulu kaki.
Yang paling bermasalah dari Inpres ini sih prosesnya. Kalau di negara lain memang ada juga kampanye hemat energi. Tapi ya bentuknya kampanye bukan instruksi. Perlu digarisbawahi bahwa kebijakan ini adalah Instruksi Presiden lho, bukan imbauan seperti yang sering disebut di media massa. Beberapa kali bahkan imbauan ini sudah berubah jadi ancaman ketika yang bicara adalah Bung Yos (mengancam akan memutus listrik untuk gedung swasta yang masih memasang AC terlalu dingin). Masa keputusan mau nonton atau tidak nonton, keputusan kedinginan atau kepanasan, atau keputusan mau pakai baju apa hari ini saja harus negara yang membuatkan.
Padahal kalo logikanya mau ditarik panjang banget kayak logika pemerintah itu, keputusan yang diambilkan untuk kita itu juga ada dampak negatifnya. Setidaknya bagi kelompok orang tertentu. Malah kebijakan yang diambil ini juga cacat hukum, karena dalam UU Pers No. 40/1999 pasal 4 ayat 2 disebutkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan ataupun pelarangan penyiaran. Pada jam 01.00 itu, biasanya masih ada berita TV yang tayang, sementara menjelang subuh biasanya ada infotainment yang kebradaannya juga memikili keterwakilan di PWI.
Pemerintah banyak sekali tuntutan kepada warganya, sementara kompensasinya seperti transparansi aliran dana hasil pemotongan subsidi BBM saja masih sulit sekali diberikan pada warganya. Nah, sementara pembatasan siaran ini sebenarnya untuk kepentingan siapa. Pembatasan siaran ini kan dilakukan supaya tidak perlu mencabut subsidi BBM dan tidak perlu menyediakan transparansi. Kalau subsidi dicabut dan transparansi tidak disediakan juga, akan ada orang-orang tertentu yang harus lungsur atau longsor statusnya. Kalau begini judulnya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan bangsa?
Lucunya lagi, Inpres itu muncul sehari setelah perhelatan pernikahan putra Presiden yang memakan waktu berhari-hari dan makan biaya, BBM dan listrik besar yang konon memakai fasilitas negara karena diizinkan undang-undang. Plus, di tengah gencarnya tuntutan kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR yang sudah mencapai angka puluhan juta itu. Busyet, hemat banget yak!
Terlepas dari pokok yang gw bahas di atas. Gerakan penghematan yang dipaksakan ini benar-benar membuat gw semi-il-fil pada kata hemat. Gerakan penghematan yang gw canangkan dan berakar pada kesadaran, ternyata tidak berjalan searah sehaluan dengan gerakan penghematan yang dipaksakan pemerintah. Hampir saja, selip lagi minggu lalu. "Tetapi ya tidak boleh begitu, Ewink! Commitment is commitment. Sekarang kan loe lagi merencanakan untuk berhemat dan memulai belajar dan menekuni lagi suatu ilmu pengetahuan baru." Begitu kata sel abu-abu gw. Tetapi seperti biasa, gw butuh katarsis untuk uap gas beracun yang terkumpul di otak gw. Untung saja gw punya blog ini. Jadi lagi-lagi seperti puisinya Wiji Thukul, "Ku harus melangkah dan berkata-kata..." Tetapi cuma jari-jari gw yang melangkah.
UANG (Ian Antono)
Kapan dan di mana saja. Di seluruh dunia ini
Tak habis orang bicara, tak henti orang berdiskusi
Tiada bukan, tiada lagi
Mereka mencari
Cara cepat 'tuk mendapatkan
Ooo uang... Ooo lagi-lagi uang
Memang Uang bisa bikin
Orang senang tiada kepalang
Namun uang bisa juga bikin orang mabuk kepayang
Lupa sahabat, lupa kerabat
Lupa saudara, mungkin juga lupa ingatan
Ooo uang... Ooo lagi-lagi uang
Uang bisa bikin orang senang tiada kepalang
Uang bikin mabuk kepayang
Ooo uang... Ooo lagi-lagi uang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment