Banyak hal di sekitar gw akhir-akhir ini berkaitan dengan masalah kehancuran hubungan. Ada yang putus bertunangan, ada perkawanan yang retak, ada pernikahan yang berakhir, ada perpisahan sekian lama dengan seorang sahabat, ada kelompok yang semakin hari hubungannya semakin menjauhi pusat orbital. Bahkan beberapa entitas di dalamnya seolah-olah tidak lagi bisa dipersatukan. Seolah-olah semuanya bergerak semakin memisah dan menjauh. Duh sedihnya!
Dalam pembicaraan gw dengan tulang gw yang bijak, gw mendapatkan kesimpulan bahwa hidup memang sebuah pergerakan. Dari titik A menuju titik B menuju titik C. Sudah galibnyalah dalam sebuah gerak perpindahan akan terjadi penemuan-penemuan baru dan kita harus kehilangan hal-hal yang lama. Kadang-kadang hal yang lama itu adalah sesuatu yang memang secara sengaja kita lepaskan, atau bisa juga kehilangan itu hanyalah konsekuensi dari pergerakan itu sendiri. Jangan pernah lupakan bahwa memutuskan tidak bergerak pun bukan berarti tanpa konsekuensi. Hubungan termasuk salah satu dari hal-hal yang dimaksud. Pada akhirnya tolak ukurnya mau tidak mau memang individual. Mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih bahagia atau mencapai eksistensi yang lebih aktual. Dalam hal ini akhirnya kehilangan-kehilangan itu akan mendapat bayaran yang setimpal. Mau tidak mau hal itu harus diterima.
Ketika berbicara tentang kelompok yang makin menjauh ini, mamiku yang cantik hanya berkata, "Jika kita akhirnya teruji sebagai sahabat sejati, maka we'll get over it. Mami sih yakin kita akan berhasil." Sungguh kata-kata yang menenangkan.
Semalam, setelah habis diterjang progressive trance spinned by DJ Boy George (anak 80-an itu), gw pulang sambil berpikir sambil sedikit melayang-layang. Gw lantas teringat kata-kata Sonny Yuliar seorang teman long... long... time ago... Dia pernah berkata bahwa pada dasarnya sesuatu yang tidak dipersatukan secara alami, maka sangat mungkin diceraikan atau dipisahkan. Bahkan yang secara alami dipersatukan pun, mungkin saja dipisahkan seperti anggota tubuh atau hubungan anak dan orang tua. Ini sesuai dengan doktrin tak ada yang abadi di dunia, kita harus siap untuk kehilangan. Tapi lantas mengapa 'penyatuan' itu pake pernah ada segala, kalau memang akhirnya mungkin berpisah?
Pikiran gw pun lantas melayang-layang membayangkan wajah-wajah yang pernah hadir, akrab, membekas di hati atau di kepala gw yang kini jejaknya hilang entah ke mana. Tahun-tahun berlalu ternyata semakin menambah album wajah-wajah yang hilang itu. Dari SD, SMP, SMU, kuliah, teman-teman main, teman-teman kerja teman-teman mabuk, teman-teman tidur dan teman-teman-teman-teman lainnya. Datang dan pergi. Berbekas namun hilang. Lantas untuk apa mereka hadir dalam hidup gw? Lalu menyisakan perih ketika gw sadar gw gak bersama mereka lagi.
Makin pagi ketika makin hang over akan alkohol dan kantuk yang menerjang, pikiran gw pun semakin terlayang-layang. Tiba-tiba gw sadar. Mereka mungkin pergi tetapi ada bagian dari mereka yang tetap mereka tinggalkan. Hubungan-hubungan itulah yang pada dasarnya menjadi substansi pembangun gw. Gw yang sakarang ini adalah resultan dari hubungan-hubungan sebelumnya itu. Hubungan yang melapiskan pelajaran demi pelajaran. Pelajaran yang kemudian akan mengantar gw menemukan pelajaran-pelajaran lain. Dan sebuah pelajaran tak pernah usang ataupun pupus selama kita sadar. Demikianlah lantas gw tertidur. Dalam tidur gw menyanyikan lagu Iwan Fals.
BELUM ADA JUDUL
Pernah kita sama-sama susah
Terperangkap di dingin malam
Terjerumus dalam lubang jalanan
Di gilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah . . . . . lelap
Pernah kita sama-sama rasakan
Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai sa'at kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat masih ingatkah . . . . . . . kau
Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara . . .
Di hati . . . . . .
Cukup lama aku jalan sendiri
Tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga sa'at kita jumpa hari ini
Tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar bangkitkan aku sobat
Memikirkan tragedi ini, gw tiba-tiba jadi ingat sebuah famous line dalam film St. Elmo's Fire (1985) :
Kirby: I always thought we'd be friends forever.
Kevin: Yeah, well forever got a lot shorter all of a sudden.
Ya, sudahlah! (Ya ampun, ternyata film itu dah 20 tahun yang lalu yah...)
Friday, May 13, 2005
Wednesday, May 11, 2005
JANJI EWINK UNTUK JANJI JONI
Waktu baca Blog-nya Nita soal Janji Joni, gw penasaran banget mau nulis soal ini. Waktu premiere-nya gw janji sama Joko mo menuliskan pendapat gw. Inilah jadinya...
Kalo dibilang idenya Janji Joni tidak original dan meniru dari film Barat sih, ogut agak kurang setuju. Soalnya fenomena pengantar rol film itu memang cuma terjadi di negara kita. Kalo memang ada screen shot yang 'sedikit' meniru dari film lain, anggaplah itu terinspirasi, toh jalan ceritanya beda banget.
Filmnya sendiri memang menghibur. Nonton film ini memang mau nggak mau jadi membandingkan dengan Arisan. Karena tim yang bikin sama. Banyak aspek dalam film ini menggiring ogut juga untuk mengingat lagi Arisan.
Ogut pun setuju kalo Joko Anwar teruji dalam mengolah detail. Ini sudah dibuktikan sebelumnya di Arisan waktu 'magang' jadi astradanya Teh Nia. Entah siapa yang mempengaruhi siapa, tetapi kedua film ini punya presisi detail yang mengagumkan. Selain itu ogut juga sepakat gebyar cameo-nya lama-lama agak melelahkan juga.
Bedanya, Arisan memiliki pesan yang mau disampaikan. Pesan ini diolah lewat plotline yang bagus sehingga nggak cuma nyampe ke kepala tetapi kena di hati juga. Pulang dari bioskop, kita jadi punya sikap terhadap banyak issue setelah menonton Arisan. Bisa soal gay, bisa soal socialite, bisa soal selingkuh. Banyak hal dalam Arisan yang meluncur yang masuk ke sisi afektif kita.
Sementara lewat Janji Joni, kita cuma diberi pengetahuan. Plotnya memberi tahu kita soal adanya profesi pengantar rol film ke bioskop-bioskop, ada sosiologi penonton bioskop (yang tidak harus kita pilih mau jadi yang mana), ada pencuri amatir, ada anak band yang audisi di gudang. Semua pengetahuan. Semua selesai di kepala. Selesai di kognisi. Kita gak dipaksa membangun simpati atau benci pada suatu issue. Tetapi untuk soal ini Joko memang sudah mengatakan di production notes Janji Joni, bahwa film ini nggak punya pesan atau misi apa-apa selain menghibur. Dalam hal ini berarti Joko berhasil.
Soal acting, gw merasa Nico agak kurang ya. Selama ini dia harus berperan jadi cowok cool terus, kali ini dia harus lebih cerewet dan banyak mengucapkan dialog. Soal dialog ini yang ternyata dia agak kurang. Waktu adegan berantem dengan Vedi Nuril. Vedi malah terlihat lebih santai daripada dia. Nico jadi agak santai di scene-scene yang dilakoni bareng Rachel dan Riza Oreo.
Scene yang agak ngeganggu adalah scene bareng Sujiwo Tejo. Sejak awal Adam Subandi digambarkan begitu misterius, menyeramkan dan penuh mitos. Pas akhirnya mereka ketemu yang terjadi malah datar-datar aja. Waktu Adam Subandi ngelempar tas ke dalam kobaran api, ogut gak jadi kaget tuh, beneran biasa aja. Dialognya juga gak cerdas-cerdas amat, agak cliche dan tidak ada chemistry-nya. Sayang ya padahal keduanya semestinya aktor hebat.
Kalo soal time logic ogut sih ikutan logika film ini aja. Kalo kita tertimpa kesialan bertubi-tubi (dan itu mungkin terjadi sehari-hari dalam sebuah hari yang sial banget) waktu kan memang terasa jadi panjang banget. Bisa jadi ini yang ada di kepala si Joni. 15 menit jadi terasa seperti 80 menit (durasi film).
Hal terakhir yang mengganggu ogut adalah kenyataan bahwa si Joni tidak berhasil menepati janjinya. Film akhirnya terpotong, malah batal diputar secara resmi. Tetapi dia tetap dapetin si Angelique yang bening abis itu. Ini doang sih yang agak kurang masuk logika ogut. Mestinya tetap disisakan sesuatu yang harus 'dibayar' Joni karena keterlambatannya itu, kalo emang dia mau dipertemukan dengan Angelique. Atau ya perkenalan dengan Angelique agak dipersulitlah. Jangan masih nungguin si Joni di bioskop. Kan masih cukup kalo ditambahin durasinya 10 menit lagi itu.
Tapi ogut mengaku salut dengan tim manajemen produksinya termasuk publisisnya. Janji Joni berhasil diiklankan cukup baik di banyak media dengan berbagai acara. Mariana Renata sampe dibikinin iklan khusus dengan set film ini, bandingin dengan Banyu Biru yang nampilin Dian Sastro yang juga cewek Lux. Semoga aja hasil tim kerja ini mendapat penghargaan yang setimpal dari penonton maupun kritikus film.
Hasilnya: 4 bintang dari FHM seperti tercantum di iklan film ini...
VIVA FILM INDONESIA!!
Kalo dibilang idenya Janji Joni tidak original dan meniru dari film Barat sih, ogut agak kurang setuju. Soalnya fenomena pengantar rol film itu memang cuma terjadi di negara kita. Kalo memang ada screen shot yang 'sedikit' meniru dari film lain, anggaplah itu terinspirasi, toh jalan ceritanya beda banget.
Filmnya sendiri memang menghibur. Nonton film ini memang mau nggak mau jadi membandingkan dengan Arisan. Karena tim yang bikin sama. Banyak aspek dalam film ini menggiring ogut juga untuk mengingat lagi Arisan.
Ogut pun setuju kalo Joko Anwar teruji dalam mengolah detail. Ini sudah dibuktikan sebelumnya di Arisan waktu 'magang' jadi astradanya Teh Nia. Entah siapa yang mempengaruhi siapa, tetapi kedua film ini punya presisi detail yang mengagumkan. Selain itu ogut juga sepakat gebyar cameo-nya lama-lama agak melelahkan juga.
Bedanya, Arisan memiliki pesan yang mau disampaikan. Pesan ini diolah lewat plotline yang bagus sehingga nggak cuma nyampe ke kepala tetapi kena di hati juga. Pulang dari bioskop, kita jadi punya sikap terhadap banyak issue setelah menonton Arisan. Bisa soal gay, bisa soal socialite, bisa soal selingkuh. Banyak hal dalam Arisan yang meluncur yang masuk ke sisi afektif kita.
Sementara lewat Janji Joni, kita cuma diberi pengetahuan. Plotnya memberi tahu kita soal adanya profesi pengantar rol film ke bioskop-bioskop, ada sosiologi penonton bioskop (yang tidak harus kita pilih mau jadi yang mana), ada pencuri amatir, ada anak band yang audisi di gudang. Semua pengetahuan. Semua selesai di kepala. Selesai di kognisi. Kita gak dipaksa membangun simpati atau benci pada suatu issue. Tetapi untuk soal ini Joko memang sudah mengatakan di production notes Janji Joni, bahwa film ini nggak punya pesan atau misi apa-apa selain menghibur. Dalam hal ini berarti Joko berhasil.
Soal acting, gw merasa Nico agak kurang ya. Selama ini dia harus berperan jadi cowok cool terus, kali ini dia harus lebih cerewet dan banyak mengucapkan dialog. Soal dialog ini yang ternyata dia agak kurang. Waktu adegan berantem dengan Vedi Nuril. Vedi malah terlihat lebih santai daripada dia. Nico jadi agak santai di scene-scene yang dilakoni bareng Rachel dan Riza Oreo.
Scene yang agak ngeganggu adalah scene bareng Sujiwo Tejo. Sejak awal Adam Subandi digambarkan begitu misterius, menyeramkan dan penuh mitos. Pas akhirnya mereka ketemu yang terjadi malah datar-datar aja. Waktu Adam Subandi ngelempar tas ke dalam kobaran api, ogut gak jadi kaget tuh, beneran biasa aja. Dialognya juga gak cerdas-cerdas amat, agak cliche dan tidak ada chemistry-nya. Sayang ya padahal keduanya semestinya aktor hebat.
Kalo soal time logic ogut sih ikutan logika film ini aja. Kalo kita tertimpa kesialan bertubi-tubi (dan itu mungkin terjadi sehari-hari dalam sebuah hari yang sial banget) waktu kan memang terasa jadi panjang banget. Bisa jadi ini yang ada di kepala si Joni. 15 menit jadi terasa seperti 80 menit (durasi film).
Hal terakhir yang mengganggu ogut adalah kenyataan bahwa si Joni tidak berhasil menepati janjinya. Film akhirnya terpotong, malah batal diputar secara resmi. Tetapi dia tetap dapetin si Angelique yang bening abis itu. Ini doang sih yang agak kurang masuk logika ogut. Mestinya tetap disisakan sesuatu yang harus 'dibayar' Joni karena keterlambatannya itu, kalo emang dia mau dipertemukan dengan Angelique. Atau ya perkenalan dengan Angelique agak dipersulitlah. Jangan masih nungguin si Joni di bioskop. Kan masih cukup kalo ditambahin durasinya 10 menit lagi itu.
Tapi ogut mengaku salut dengan tim manajemen produksinya termasuk publisisnya. Janji Joni berhasil diiklankan cukup baik di banyak media dengan berbagai acara. Mariana Renata sampe dibikinin iklan khusus dengan set film ini, bandingin dengan Banyu Biru yang nampilin Dian Sastro yang juga cewek Lux. Semoga aja hasil tim kerja ini mendapat penghargaan yang setimpal dari penonton maupun kritikus film.
Hasilnya: 4 bintang dari FHM seperti tercantum di iklan film ini...
VIVA FILM INDONESIA!!
Tuesday, May 10, 2005
HIDUP
Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik.
Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri.
Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.
Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri.
Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.
Subscribe to:
Posts (Atom)