Monday, February 25, 2008

Hujan Batu di Negeri Orang

Click the images if you want to read....

Thursday, February 14, 2008

My Happy/Sappy Valentines



Hei, saya seorang pria. Saya karnivor, saya mencukur kepala saya hingga nyaris botak dan saya membiarkan rambut-rambut halus tumbuh di dada saya. What on earth could I possibly say in favor of Valentine’s Day? Well, actually I do have some opinions...



Dalam 3 dekade hidup saya, makna hari kasih sayang ini telah mengalami pergeseran. Tentu saja pergeserannya terjadi sangat perlahan-lahan dan sangat bergantung pada peristiwa-peristiwa yang saya alami di tahun-tahun sebelumnya. Ketika dihadapkan pada pertanyaan mengenai tentang Valentine’s Day, saya pun mulai mengudari makna-makna Valentine yang pernah saya yakini. Setidaknya ada tiga sikap yang pernah saya ambil terhadap Valentine.

Adolescence (Teenages)
Saya mengenal istilah hari kasih sayang pada saat memasuki usia pubertas, tepatnya di bangku SMP. Ketika itu suara cempreng saya mulai memberat, bulu-bulu halus mulai tumbuh di kaki dan saya mulai gugup jika berpapasan dengan seorang teman sekolah yang tinggal di komplek sebelah. Sebelumnya saya tidak pernah sedikit pun mendengar istilah itu. Entah masa kanak-kanak saya begitu nerdy atau memang tidak peduli.

Istilah ini awalnya saya baca di majalah ilmiah populer bulanan yang terbit di negeri kita saat itu. Mendekati 14 Februari, saya baru sadar bahwa hari itu dirayakan oleh hampir seluruh majalah remaja, termasuk satu-satunya majalah remaja pria. Sebagai remaja di akhir era 1980-an, tentunya saya tidak mau ketinggalan ikut dalam gegap gempita itu.

Kebetulan pada saat Valentine, saya sudah dekat dengan teman sekolah yang tinggal di kompleks sebelah. Saya ikuti berbagai langkah dan tips yang dianjurkan majalah itu. Tahun itu saya merayakan Valentine lengkap dengan dinner, nonton bioskop, bunga mawar dan coklat. Alhasil di penghujung malam saya berhasil mendapatkan ciuman pertama saya. Hubungan itu sendiri berakhir beberapa bulan kemudian. Namun sebuah paradigma baru tentang hari kasih sayang melekat di kepala saya.

Paradigma Valentine ini masih saya praktekan setidaknya 4-5 tahun berikutnya. Meskipun “hadiah” yang saya terima di penghujung malam mulai berubah. Akhirnya saya sampai pada suatu titik di mana saya kehilangan seluruh keistimewaan moment Valentine. Ketika “hadiah” itu mulai bisa saya dapatkan tidak cuma di hari kasih sayang, tetapi juga hari-hari lainnya sepanjang tahun. Di masa-masa ini, Valentine sekadar kegiatan konsumtif dan fisikal belaka.

Young Adulthood (Twenty-something)
Masa turbulensi politik Indonesia sedikit banyak mempengaruhi pemikiran saya saat memasuki usia 20-an. Di masa ini, saya hidup jauh dari rumah dan memasuki miniatur realitas metropolitan, yaitu dunia kampus. Saya mulai mengakrabi pemikiran-pemikiran teori kritis dan di kampus juga terjun menjadi aktivis. Tanpa terasa, pengetahuan yang saya dapatkan dari aktivisme kampus membentuk pandangan dunia saya.

Pada era ini saya mengembangkan pemikiran baru tentang Valentine. Saat ini saya menganggap Valentine is sick! Saya menganggap Valentine tak lebih dari marketing tools yang terlalu komersial. Suatu kali, saya sempat memiliki pasangan yang setuju that it was all too commercialized. Kami membuat perjanjian untuk tidak akan menghabiskan satu sen pun untuk merayakan hari kasih sayang ini. Alih-alih, saya membuat sebuah kartu ucapan sendiri dengan inisial nama kami terukir di dalam sebuah bentuk hati dan mengatakan I love you. Saya memberikannya kartu itu, we never had sex again and then she dump me!

Ketika saya lepas kuliah dan memasuki dunia kerja yang jauh lebih nyata berbekal idealisme, saya pun semakin muak dengan realitas bernama Valentine. Meskipun arus pengaruhnya bertambah kuat dengan cara-cara yang lebih kreatif dan hegemonik, tetapi saya malah menemukan realitas-realitas aneh yang membuat saya geleng-geleng kepala.

Seorang teman kerja yang lebih senior menceritakan pengalaman Valentine setiap tahun. Dia telah saling tak acuh dengan pasangannya selama hampir setahun terakhir ini. Mereka bahkan menghabiskan akhir pekan sendiri-sendiri. Sang istri sibuk dengan teman-temannya dan dia sibuk mengencani wanita-wanita selingkuhannya. Namun, mereka sibuk berburu karangan bunga paling cantik untuk romantic candle light dinner, kissing in the rain (pointless), and hand-holding sepanjang malam. Mereka lalu pulang ke apartemen mereka yang lantainya sudah ditaburi kelopak-kelopak mawar dari pintu masuk hingga ke atas ranjang mereka. Di penghujung malam mereka sudah sibuk dengan post-coital ciggy dan kemudian kembali saling mengabaikan hingga tiba Valentine tahun depan. Semua itu mereka lakukan untuk menyatakan cinta mereka yang terlanjur diikat di lembaga pernikahan.

Di era ini kisah cinta saya sendiri terangkum tak ubahnya deretan kartu-kartu Valentine yang dijual di etalase-etalase. Cards range from minimalist overpriced types, through to fluffy, glitter-drenched six-footers. Semuanya adalah koleksi yang dibuat semenarik mungkin, dengan kata-kata yang bergairah dituangkan ke dalamnya. Lantas setelah dinner dan sedikit seks, kartu itu sudah sobek dan tercampakan ke tong sampah. Seolah-olah kewajiban saya untuk memperlakukan seseorang sebagai lady selama 24 jam telah terpenuhi dan kemudian saya kembali bisa gila-gilaan untuk 364 hari lainnya.

Maturity (The Thirties)
Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, saya mencoba berdamai dengan dunia. Sedikit demi sedikit idealisme saya mengendur dan digantikan dengan pragmatisme. Ketika sudah bertahun-tahun harus mengakrabkan diri dengan realitas Valentine, saya pun akhirnya menganggap bahwa Valentine is for everyone and in short, is possibly the second wonderful day of the year after Christmas.

Apakah menjadi lebih feminin dengan menyukai Valentine’s Day? Tidak. Ini adalah hari di mana saya justru bisa agak bermalas-malasan. Valentine’s day adalah satu-satunya hari di mana kita bisa melemparkan alasan atau hadiah paling culun untuk membahagiakan pasangan atas nama romantisme, and still get something nice in return. Kami bisa sekedar memesan Sate Padang Mak Datuk, hanya karena mengingatkan kami pada masa-masa perkenalan dulu. Meskipun sate itu agak terlalu berasap, namun itu romantis, all thanks to segnor Valentine.

Tapi bagaimana dengan orang-orang yang harus menjalaninya tanpa pasangan? Well, they should love Valentine’s too. Mereka bisa menyatukan sinisme arogan dan kesepian yang mereka jalani untuk mengadakan bersama-sama mengadakan “We hate Valentine, so we throw a party” party. Di acara itu, mereka bisa bertemu dengan seseorang, lalu mudah-mudahan bisa jatuh cinta, and live happily ever after… Seperti kami!

So, it’s Valentine’s Day, everyone’s a winner… Happy St. Valentine's Day!

Sunday, December 30, 2007

Membaca Djenar, Menonton Djenar


Saya mendatangi Gala Premiere film ini tanpa berharap apa-apa. Saya hanya mendatangi peluncuran sebuah film yang dibuat sahabat saya dan sekaligus pengarang favorit saya. Memang, sebagai pengarang karya seorang Djenar Maesa Ayu sudah tidak perlu diragukan. Meskipun telat memulainya, at the moment I read her first book, suddenly I felt in love with her short stories. Tetapi sebagai sutradara? Wah, saya tidak ingin mempertaruhkan selera untuk seorang sutradara debutan.

Mengikuti menit demi menit alur film ini. Saya mulai menumbuhkan kesukaan saya terhadap film ini. Storytelling-nya yang unik, elaborasi dan eskalasi konflik, perspektifnya, metafor-metafor yang digunakan dan plot twist di ujung film. Semuanya sangat menarik dan membangkitkan minat. Soal cerita (yang saya kira akan jadi keunggulan utama Djenar) meskipun menarik ternyata malah bukan daya tarik utama, karena memang diangkat dari dua cerpen yang sudah diterbitkan sebelumnya. Penonton disuguhi cerita yang sudah mereka tahu lewat bukunya, tapi tetap terpikat untuk menyaksikan kelanjutannya.

Yang paling menarik adalah Djenar menemukan bahasanya filmnya sendiri untuk berkomunikasi dengan penonton. Djenar berhasil menjabarkan premis, logika dan membangun metafor-metafor (serta menerjemahkannya pada penonton) lewat gaya bertutur khasnya sendiri. Menurut saya, hal ini murni hasil kreativitas Djenar dan tidak merujuk atau mengadopsi gaya-gaya tuturan yang sudah ada sebelumnya (terutama di film-film Barat). Bagi saya, menonton film ini persis semenarik membaca buku-buku Djenar.

Memang masih ada ketidaksempurnaan di sana-sini. Pengadeganan tampak masih terbata-bata, beberapa pemain pun tampak kurang menjiwai peranannya. Aktingnya juga agak kurang konsisten seperti Titi Sjuman yang masih suka turun naik eksotismenya. Beberapa pemain vital tampak kurang tepat dengan karakter yang dimainkan. Henidar Amroe misalnya, dia berakting sangat bagus, tetapi sejak awal film dia sudah tampak terlalu tua dan tidak bertambah umur saat semakin tua. Spirit kedivaannya pun kurang muncul, coba kalau Krisdayanti, Kinaryosih atau Titi DJ yang memerankannya, pasti jauh lebih masuk pada karakternya. Yang paling parah sih Arswendo Atmowiloto, duh! Kenapa tidak menggunakan aktor profesional saja sih untuk peran sekecil itu. Dalam soal casting, saya menangkap kesan kalau Djenar ingin memirip-miripkan pemainnya dengan "dirinya". Walaupun hal itu dibantahnya sendiri di akhir cerita.

Semua bisa termaklumkan karena ini memang film independen ber-budget terbatas. Andaikan film ini didukung modal yang kuat, pasti hasilnya akan jauh lebih bagus lagi. Dengan begini saja, saya sudah bisa keluar dari bioskop dengan sangat puas. Sayang sekali, film ini hanya akan diputar di sedikit bioskop saja, jaringan Blitz Megaplex. Jadi untuk kota-kota yang tidak memiliki jaringan Blitz Megaplex, sebaiknya menghubungi Intimasi Production kalau ingin mengadakan special screening.


Seorang sutradara hebat baru saja lahir di negeri kita. Semoga karya-karya besarnya masih akan terus bergulir membanjiri bioskop kita. Semoga semakin banyak kasus Hanung Brahmantyo, Joko Anwar atau Djenar Maesa Ayu di negeri kita. Orang-orang yang mampu memikat kita di dalam bioskop sejak karya pertamanya.
IBX5899AACD4E772