Thursday, November 15, 2012
Tuesday, October 23, 2012
Pentingnya Riset bagi Public Relations
Di dunia ideal,
praktisi public relations selalu
punya waktu untuk melakukan riset sebelum mereka memulai suatu program ataupun
aktivitas. Selain itu, organisasi yang bekerja sama dengan mereka biasanya akan
meminta hasil riset tersebut sebagai elemen inti pengembangan strateginya.
Riset yang
dilakukan public relations memiliki
potensi menjadi fondasi untuk membangun si public
relations yang lebih baik selain membangun organisasi bersangkutan itu
sendiri. Praktisi public relations
bisa menggunakan hasil risetnya untuk mengembangkan strategi dan program
kemudian mengevaluasi hasilnya.
Peran Riset dalam Praktek Public Relations
Misalnya, seorang CEO
bertanya, apa saja yang sudah dicapai berbagai departemen di perusahaannya
selama beberapa tahun belakangan ini, si CEO ini ingin tahu bagaimana setiap
departemen berkontribusi pada tujuan pencapaian organisasinya. Nah, bagi
departemen public relations, pencapaian
tidak hanya dilihat dari berapa banyak siaran media yang dibagikan, newsletter pegawai yang diterbitkan,
atau jumlah orang yang mengunjungi situs internalnya. Semua yang disebut tadi
hanyalah output-nya.
Yang sebetulnya
harus dicapai oleh departemen Public Relations
adalah seberapa besar kontribusi mereka pada kesuksesan bisnis organisasinya.
Bagaimana caranya mereka mempengaruhi perilaku atau sikap publik yang bisa
membuat organisasinya lebih baik? Di sinilah riset yang dilakukan oleh Public relations sangat berperan dalam
mengindentifikasi isu-isu penting yang berhubungan dengan ruang lingkup
kerjanya, lalu mengembangkannya menjadi strategi public relations, serta menggunakannya untuk mengukur pengaruh
program tersebut terhadap perusahaan. Tanpa adanya riset, praktisi akan
mendapatkan output yang kecil dengan
mengandalkan dugaan-dugaan atau asumsi belaka sebagai bahan laporan. Tanpa
adanya riset, praktisi tidak bisa menunjukkan bagaimana caranya suatu program public relations dapat menggerakkan
perubahan.
Broom and Dozier
(1990) mendefinisikan riset sebagai “kumpulan informasi yang terukur, objektif,
dan sistematis yang bertujuan untuk menjelaskan dan mengarahkan
pengertian" (hal. 4). Riset merupakan bagian integral proses kerja public relations. Dua tahap dari empat
tahap dalam proses kerja public relations,
seperti yang dikembangkan oleh Cutlip, Center, and Broom (2000), mengandalkan
hasil riset: mendefinisikan masalah dan kesempatan di dunia public relations, serta mengevaluasi
programnya. Model ROPE milik Hendrix (riset, objektif, program, dan evaluasi) dan
model dari Marston RACE (riset, aksi, komunikasi, dan evaluasi) sama-sama
membahas bahwa bergantung pada riset merupakan hal pertama dan terakhir dalam
proses kerja public relations (seperti juga disebutkan oleh
Stacks, 2002).
Cutlip dll mengatakan
dalam risetnya bahwa, “riset adalah fondasi yang efektif untuk public relations” (2000, hal. 343).
Stacks mengatakan, “Sederhana saja, tanpa riset Anda tidak bisa
mendemonstrasikan efektivatas program Anda” (2002, hal. 4). Gronstedt (1997) menyebutkan
bahwa riset menyediakan data kasar yang diperlukan untuk memperkuat nilai suatu
organisasi selain juga menyediakan informasi yang membantu terbentuknya
keputusan yang berdaya saing. Riset merupakan bagian penting dari manajemen public relations untuk membantu praktisi
memfokuskan diri pada tujuan, objektif, dan hasil, bukan melulu pada output, dan dalam prosesnya, akan
menciptakan metode yang sistematis dalam melakukan semuanya.
Riset juga menjadi hal
fundamental yang bisa dijadikan acuan bagi beberapa contoh praktek public relations yang unik, termasuk
praktek ala sistem terbuka dan ala two-way.
Peran dari si public relations haruslah lebih dari sekadar menyampaikan pesan
si organisasi atau seperti yang sering disebut sebagai taktik berkomunikasi “inside-out” (Gronstedt, 1997, hal. 39). Dalam
model sistem terbuka, public relations
juga sering menggunakan taktik “outside-in”
dengan cara mengomunikasikan kembali kepada organisasinya apa yang dipercayai,
dirasakan, dan dikhawatirkan oleh publik yang dijadikan target utama (Gronstedt,
hal. 39). Pada model sistem terbuka, organisasi dan publik saling bertukar
informasi, dan mempengaruhi satu sama lain. Di sinilah pentingnya riset sebagai
fasilitator pertukaran informasi ini. Riset menyediakan tujuan bagi organisasi
untuk menelaah lebih dulu lingkungan di mana publik dan isu-isu yang ingin
diangkat. Riset membuka potensi di mana organisasi bisa membangun hubungan baik
dengan area yang ingin dicakup agar pengembangan program dan tindakan taktis
dapat meminimalisir melebarnya masalah yang tidak perlu. (Broom & Dozier,
1990; Cutlip, Center, & Broom, 2000).
Komunikasi model
simetrikal dua arah diajukan pertama kali oleh James E. Grunig, ia menekankan
pentingnya organisasi dan publik yang menjadi target utama untuk saling
terlibat dalam dialog rutin demi membangun hubungan baik yang saling
menguntungkan. Maka riset pun harus menjadi bagian dari dialog. “Dengan model
simetrikal dua arah, para praktisi dapat menggunakan riset dan dialog yang
bermanfaat saat terjadi perubahan pada ide-ide, sikap dan perilaku baik dari
organisasi maupun publik yang terlibat” (Grunig, Grunig, & Dozier, 2002, hal.
308). Riset lebih jauh dapat dilakukan untuk mengukur hubungan kerjasama dan
mengidentifikasi berbagai indikator yang bisa dijadikan sebagai pengukur
hubungan kerjasama yang baik antara organisasi dan public relations-nya (Grunig
& Hon, 1999).
Grunig et al. menemukan
bahwa “Public relations yang baik
adalah yang menggunakan riset (dua-arah), simetrikal (walaupun pada prakteknya
organisasi berjuang menyeimbangkan antara faktor simetri dan asimetri saat
mereka membuat keputusan) dan komunikasi secara personal maupun tidak langsung (dilihat
dari situasi dan publiknya)” (2002, hal. 25-26).
Maka, riset
sangatlah fundamental. Ada juga yang mengatakan bahwa, “Dibandingkan dengan
program yang digarap seadanya, program public
relations yang hebat adalah yang didasari oleh riset yang mempertimbangkan pemetaan
pasar dan sudah melakukan berbagai macam evaluasi pada risetnya (klinis,
kliping, dan umum)” (hal. 26).
Riset juga bisa
memberikan manfaat pada karir si praktisi selain bermanfaat bagi organisasi dan
departemen public relations-nya.
Broom and Dozier mencatat dari beberapa ilmu, termasuk ilmu mereka sendiri ada
hubungan erat antara riset PR dan partisipasi PR dalam membuat keputusan
manajerial. “Rasanya akan seperti Anda tidak diundang ke meja bundar tempat
semua keputusan dibuat, kecuali Anda berkontribusi pada proses pengambilan
keputusan lewat pengumpulan data-data sistematis, - hasil riset” (1990, hal.
10). Austin, Pinkleton, and Dixon (2000) juga mencatat, “Sepertinya sudah jelas
bahwa mereka (public relations) yang
memiliki keahlian dalam hal produksi tetaplah memerlukan kekuatan melakukan
riset secara baik untuk mememperkuat data yang mereka punya jika mereka ingin
menaikkan status pekerjaan mereka ke pekerjaan yang sifatnya lebih manajerial”
(hal. 249).
Periset lain juga
menemukan hubungan yang serupa pada kemampuan seseorang untuk melakukan riset
dengan kemajuan karirnya. Grunig et al. (2002) mencatat bahwa dalam suatu
organisasi, keahlian seseorang dalam berstrategi sangatlah dihargai, karena
manajer departemen public relations
biasanya lebih baik dalam melakukan peran teknis dan manajernya dibandingkan
melakukan peran strategis. Peran strategis memerlukan keahlian mengevaluasi
riset, pemetaan pasar dan riset publik yang tersegmentasi. Implikasinya, para
manajer komunikasi ini kemungkinan besar atau cenderung dianggap sebagai
manajer yang mampu berstrategi jika memiliki keahlian meriset.
Akan tetapi apa yang
terjadi? Pada kenyataannya, banyak sekali departemen public relations yang
tidak melakukan riset atau hanya melakukannya sambil lalu, walaupun bukti kuat
bahwa riset public relations
merupakan hal penting dalam membuat program-program yang lebih efektif sudah
banyak diketahui. Pada sebuah survei, sebanyak 50 percent responden mengatakan
bahwa mereka jarang atau tidak pernah mengalokasikan dana untuk riset (Gronstedt,
1997). Alasan paling umum adalah minimnya dana untuk melakukan riset, kurangnya
pelatihan riset, dan adanya ketakutan kinerja program mereka yang akan dianggap
tidak sukses jika ada data-data riset yang merujuk ke arah itu. Sedangkan bagi
organisasi yang melakukan riset, total biaya yang mereka keluarkan hanyalah 10
percent dari total dana yang direncanakan (Williams, 2003). Para praktisi public relations seringkali tidak sadar
bahwa riset sederhana sudahlah tersedia dan bisa didapat dengan berbagai cara
yang mudah dan kadang nyaris tanpa biaya apapun (Hon, 1998). Riset sederhana
meliputi “mencermati data-data yang sudah tersedia,” termasuk di antaranya
informasi akademis, perdagangan dan jurnal-jurnal profesional (Lindenmann,
2003, hal. 3).
Banyaknya
program-program yang memenangkan penghargaan penting di bidang public relations menandai meningkatnya
riset yang dilakukan public relations.
Stacks (2002) mencermati bahwa prosentase penerima penghargaan PRSA Silver
Anvil yang menggunakan riset serius untuk kampanye mereka meningkat dari 25 persen
di tahun 1980 ke 75 persen di tahun 1998. Program penghargaan IABC’s Gold Quill
juga termasuk dalam komponen yang menjadi ukuran. Ada pula penghargaan tahunan Jake
Wittmer Award yang digagas oleh sebuah asosiasi untuk memberikan penghargaan
kepada praktisi penguna riset untuk mengembangkan program yang efektif bagi
proyek komunikasi mereka (Williams, 2003). Campaignasia turut melaporkan bahwa
Samsung, si raksasa dari Korea menggunakan jasa riset dari Nielsen untuk
membantu mereka mendapatkan informasi berskala global sehingga Samsung berhasil
menjadi merek No. 1 menurut laporan Campaign Asia-Pacific 2012 Asia’s Top 1000
Brands.
Apa Kegunaan Riset PR
Riset public relations menyediakan fondasi
bagi apapun yang ingin dilakukan seorang komunikator, termasuk di dalamnya mengidentifikasi
dan memahami kelompok publik yang dijadikan target utama, menggarap isu-isu
penting, mengembangkan strategi organisasional dan public relations dan mengukur hasilnya (Gronstedt, 1997). Hasil
riset juga bisa digunakan untuk membuat publikasi, seperti yang disebutkan
dalam hasil survei bahwa organisasi dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan
publikasi.
The Institute of
Public Relations mengidentifikasi delapan grup penting yang berkomunikasi
dengan organisasi public relations.
Kedelapan grup ini meliputi komunitas, perusahaan (pegawai, persatuan pegawai,
manajer), pelanggan, suppliers, pasar uang, distributor dan vendor, calon
pegawai, dan pemuka masyarakat (media, kelompok aktivis) (Oliver, 2001). Ada
pula grup-grup yang lebih kecil daripada mereka. Memang tidak banyak organisasi
yang memiliki sumber daya untuk menjaga hubungan baik yang kuat dengan berbagai
grup setiap waktu walaupun tidak terlalu diperlukan. Riset juga membantu departemen
public relations mengidentifikasi
target utama mereka dan isu-isu yang berhubungan, maka organisasi pun dapat
memfokuskan perhatiannya pada area-area yang paling berpengaruh dan bernilai.
Riset juga membantu
identifikasi pengetahuan, kecenderungan dan perilaku sehari-hari publik, sumber-sumber
informasi mana yang mereka percaya dan bagaimana cara mencapainya dengan mudah.
Grunig et al. (2002) menemukan bahwa riset memegang peranan penting bagi
organisasi dalam merespon publiknya atau dalam hal ini, para aktivis. “Departemen
public relations yang hebat dapat
memetakan [lewat riset] dan secara berkesinambungan menyuarakan pesannya,
terutama pengambilan keputusan kepada publik, terutama aktivis” (hal. 27). Departemen
yang hebat juga akan menggunakan riset untuk merencanakan dan mengevaluasi
program-program komunikasi mereka.
Ingatlah bahwa
tujuan dari kampanye public relations
adalah tampil beda dan mendobrak penghalang yang tercipta antara produk dan
pasarnya, ide atau jasa. Contoh dari penghalang ini adalah resesi ekonomi atau
komunitas yang kompetitif. Strategi yang tepat akan dapat mengalahkan dan mendobrak
penghalang ini dengan lebih efisien. Dengan riset, kita akan bisa membantu
suatu produk menyusun strategi dan menciptakan kampanye PR maupun marketing
yang baik. Namun sekali lagi, hanya waktulah yang akan menentukan apakah
strategi kita berhasil atau tidak.
Saturday, August 25, 2012
Menulis
"Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari."
(Pramoedya Ananta Toer -- dalam "Anak Segala Bangsa")
Tuesday, July 31, 2012
“Sensitivitas dan Inisiatif Pemimpin Negara Melaksanakan Aturan HAM Belum Maksimal.”
Wawancara dengan Usman Hamid pada 2009
Perjuangan yang dilakukan oleh mendiang Munir Said Thalib, mungkin telah berhenti pada 7 September 2004, ketika racun arsenik telah menghentikan detak jantungnya. Namun perjuangan belum selesai, ketika itulah Usman Hamid tampil ke muka dan meneruskan perjuangan Kontras untuk menegakkan HAM di Indonesia.
Baru-baru ini Anda menolak sebuah penghargaan karena sebuah iklan yang mereka tayangkan di televisi, padahal penghargaan itu kan artinya pengakuan terhadap berbagai upaya yang Anda lakukan?
Entahlah. Waktu itu, spontan saja saya menolaknya. Mungkin anda benar soal iklan itu. Penghargaan memang bisa berarti pengakuan. Tapi pengakuan yang sejati idealnya menuju pada konsistensi satu nilai, agar tidak hipokrit.
Begini, iklan partai tersebut di televisi itu adalah iklan politik. Ia menempati bidang kontestasi yang mempertemukannya dengan kelompok atau partai lain. Nah, setiap kelompok atau partai memiliki klaim atas tradisi dan pendasarannya sendiri. Tradisi ini harus dihormati karena merupakan bagian dari kekhasan serta identitas perjuangan setiap partai atau kelompok. Dalam konteks kontestasi, iklan itu menjadi ofensif karena pengambilan identitas atau tradisi yang lain selalu diartikan sebagai taktik untuk mengurangi yang lain.
Kedua, iklan itu menempatkan Soeharto sebagai pahlawan dan sama dengan pahlawan atau tokoh bangsa seperti Muhammad Natsir, KH Ahmad Dahlan serta KH Hasyim Asy'ari. Tokoh-tokoh ini amat saya kagumi karena integritas pribadi, keberanian dan pengorbanannya menentang kejahatan dan membela kaum yang lemah. Hingga kini belum ada penggantinya.
Sedangkan Soeharto berbeda, akhir hayatnya berstatus tersangka korupsi. Tak ada amnesti atau abolisi dari Presiden SBY. Kasus hukumnya tak dideponir Jaksa Agung. Nama Soeharto pun berada di peringkat tertinggi sebagai pemimpin terkorup di dunia. Kasus pidananya berhenti bukan karena tak ada bukti, tapi lebih karena kesehatannya. Itulah mengapa Kejaksaan lalu menggugat harta kekayaan yayasan Soeharto karena dianggap hasil korupsi. Nah, Partai ini selalu mengklaim sebagai partai anti korupsi. Lalu, iklan itu mau memberi pengakuan apa?
Kalau mereka mengakui aktivitas Anda, bukankah berarti mereka menerima prinsip-prinsip Anda juga?
Benar. Semakin banyak orang, apalagi partai menerima prinsip-prinsip HAM akan membuat HAM menjadi semakin universal dan perjuangannya menjadi lebih baik. Nah, sayangnya, penegasan prinsip ini tak jelas. Kalau dilihat dari penjelasan Sekjennya, iklan itu adalah ajakan rekonsiliasi. Pernyataan ini membuat prinsip itu kian tak jelas. Siapa yang mau direkonsiliasi? Apa yang direkonsiliasikan?
Sebagai pemimpin, Soeharto mundur dari jabatannya saat rakyat susah karena sembako, utang luar negeri dan krisis moneter 1997/98. Bagi saya, bukan pemimpin jika mundur begitu saja, apalagi jika dituduh KKN. Pemimpin harus berani bertanggungjawab. KKN itu bukan perkara politik. KKN adalah sebuah kejahatan atau tindak pidana. Pelakunya harus dihukum. Hasil korupsinya harus dikembalikan pada negara dan dibagi pada yang miskin, yang membutuhkan.
Itulah mengapa ada TAP MPR XI/1998 yang menegaskan bahwa Negara wajib mengusut praktik KKN Soeharto dan kroni-kroninya. Inilah amanah reformasi yang harus kita hormati. Itu baru satu. Belum lagi jika kita bicara pelanggaran HAM seperti di Aceh.
Prinsip saya, negara hukum (rechtstaat) dan penghormatan martabat manusia. Untuk apa? Agar ada keadilan. Tanpa menghormati nilai ini, maka itu bukan rekonsiliasi. Rekonsiliasi elite tak akan banyak membawa perubahan, kecuali sekadar pencitraan menjelang Pemilu 2009.
Apa mungkin Anda takut/enggan dijadikan komoditas politik salah satu kubu menjelang Pemilu?
Saya kira pertimbangan waktu itu jauh melampaui sekadar kekhawatiran dijadikan komoditas politik. Seperti telah saya terangkan sebelumnya.
Mengapa Anda berpikir bahwa menerima penghargaan ini tidak ada manfaatnya untuk perjuangan Anda?
Saya tidak tahu. Mungkin kalau pun ada manfaat, saya merasa lebih banyak mudharatnya...(haha) Iklan partai itu itu adalah iklan politik elektoral, bukan perjuangan politik hak asasi manusia. Elektoral karena iklan dibuat untuk membangun pencitraan menjelang Pemilu 2009. Langkah ini prematur karena kontes Pemilu belum mulai. Iklan itu terbuai oleh asumsi yang lemah bahwa orang rindu akan Soeharto dan orang-orang ini bisa menjadi pemilih potensial. Padahal, masyarakat kita punya rasionalitas. Partai tak akan banyak berkembang jika cuma mengandalkan simbol figur tertentu. Partai harus mulai mengedepankan nilai, platform, manifesto atau ideologi. Kesetiaan pada nilai itulah yang dilihat pemilih.
Di masa Orde Baru, kita sering mendengar catatan pelanggaran HAM diumumkan setiap tahunnya, tetapi pasca reformasi justru tidak lagi luas pemberitaan mengenai ini, apakah semuanya memang sudah baik-baik saja?
Tentu tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Lihat saja begitu banyak masalah hak asasi manusia yang dikabarkan oleh media massa. Distribusi keadilan tak merata. Petani kesulitan mengakses tanah, anak-anak fakir miskin terlantar dan putus sekolah, diskriminasi perempuan, protes upah buruh berakhir dengan PHK sampai lumpur Lapindo. Meskipun begitu, saya tetap mensyukuri keadaan sekarang, daripada yang dulu. Kita punya kebebasan politik untuk memperjuangkan rakyat. Kebebasan sangat penting. Tanpa kebebasan, sulit mencapai hak-hak lainnya. Kekuasaan Negara tak lagi terpusat di tangan satu orang. Aksesibilitas politik lebih terbuka. Penggunaan kekerasan jauh berkurang. Kalopun masih ada represi, relatif terkontrol.
Dulu, yang namanya bunyi letusan senjata hampir tiap hari di Aceh. Tapi sekarang, berubah. Konflik bersenjata berakhir. Kehidupan mulai normal. Kekerasan memang tak hilang, tapi suasananya jauh lebih aman. Nah, pemerintah juga perlu mikirin gimana supaya perundingan damai Aceh dibawa ke Papua. Wilayah ini kaya sekali, tapi saudara kita di sana banyak yang hidup susah dan tak mendapat apa yang diharapkannya. Ini yang harus kita pikirin, bukan terus memenjarakan orang Papua karena pengibaran bendera. Ambil hikmah, bahwa bendera itu adalah pengingat agar kita lebih serius perhatikan orang asli Papua.
Dalam pergaulan dunia, Indonesia tak lagi menutup diri. Kalau dulu, pemerintah kita bersikap anti kritik, anti hukum HAM internasional, selalu merasa punya HAM sendiri, HAM-nya Asia, HAM-nya orang Timur. Padahal yang namanya manusia di manapun perlu hak yang sama dan sederajat karena diciptakan Tuhan Yang Esa. Nah, sikap itu berubah. Sepuluh tahun reformasi, sudah enam dari delapan instrumen HAM pokok diratifikasi. Mulai dari perlindungan bagi anak, anti diskriminasi terhadap perempuan, diskriminasi rasial, anti penyiksaan, dan dua kovenan induk untuk hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Yang belum adalah konvensi perlindungan buruh migran dan statuta pengadilan kejahatan internasional. Semua ini telah menjadi hukum kita. Tinggal bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Apakah masih ada penyiksaan, apakah masih ada orang yang dilarang memiliki keyakinan politik atau agamanya sendiri.
Hal apa yang menjadi catatan Anda dalam penegakan HAM di Indonesia pada tahun 2008?
Waduh, banyak banget. Kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani di Kendal, Blora Jawa Tengah sampai Bengkalis Riau. Masalah ini masih terus terjadi karena pemerintah terus menunda realisasi kebijakan agrarian untuk meredistribusi tanah delapan juta hektar. Belum lagi kasus salah tangkap, eksekusi hukuman mati. Akhir tahun 2008, banyak orang diPHK dan ini adalah persoalan HAM tersendiri yang serius.
Persoalan HAM paling menonjol di tahun 2008 adalah eksekusi mati terhadap 10 orang narapidana. Angka ini rekor tertinggi pasca Orde Baru. Padahal mayoritas Negara di dunia menghentikan eksekusi mati. Ini tanda bahwa ratifikasi konvensi internasional belum sepenuh hati. Contoh lainnya, ratifikasi Statuta Roma yang dijadwalkan tahun ini tak dilaksanakan. Meskipun tetap tak terlalu jelek karena Indonesia meratifikasi Piagam ASEAN menuju pembentukan Badan HAM ASEAN.
Tahun ini terjadi diskriminasi dalam memeluk agama. Negara lewat SKB tiga menteri melarang aktivitas organisasi Jamaah Ahmadiyah dan sempat memicu lahirnya tindak pemaksaan dan kekerasan. Keputusan semacam ini mengerosi kualitas kebebasan politik dan ruang dialog sosial masyarakat. Kekerasan terhadap aksi damai di Monas, pada 1 Juni 2008 adalah bentuk ketidaksiapan kelompok tertentu melihat perbedaan.
Di tahun 2008, banyak peraturan daerah yang terindikasi bertentangan dengan kepentingan umum atau undang-undang. Meski ada perda yang dibatalkan atau dalam proses dibatalkan, kita kemudian disibukkan lagi dengan munculnya produk hukum baru bermasalah. Undang-undang penanaman modal, mineral dan batu bara hingga undang-undang badan hukum pendidikan. Berbagai protes mahasiswa dan masyarakat diabaikan.
Sensitivitas dan inisiatif pemimpin politik negara melaksanakan aturan sesuai HAM belum maksimal. Ada gap antara peraturan dengan fungsi lembaga-lembaga negara di bidang hukum dan HAM. Aturan perlindungan saksi sudah dibuat 2006, komisionernya baru dipilih 2008 sehingga dampaknya belum terlihat. Banyak orang masih takut menjadi saksi. Pemimpin diam saja terhadap hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM. Komisi Yudisial tegang dengan Mahkamah Agung, BPK konflik dengan MA. Rencana revisi hukum pidana umum dan hukum pidana militer berakhir buntu di Pansus DPR.
Ketiga, penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat berjalan stagnan. Faktor penyebabnya, minimnya dukungan politik dari eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR RI). Presiden dengan kabinet kurang solid dalam menyikapi polemik kasus ini. Presiden saat menemui KontraS dengan perwakilan korban pelanggaran HAM masa lalu berjanji menggelar rapat kabinet khusus membahas kasus-kasus ini. Kenyataannya, janji ini tak terealisasi. Bagi kami, ini biasa terjadi selama 10 tahun reformasi, janji lalu tak ditepati. Masalahnya, Presiden SBY akan semakin terkesan tak punya kewibawaan di mata bawahannya saat mengucap janji.
Di tengah kondisi ini, Mahkamah Agung juga menolak gugatan kompensasi restitusi dan rehabilitasi para korban pelanggaran HAM di Tanjung Priok 1984. Persis seperti ketika gugatan korban Lapindo juga dikalahkan oleh pengadilan.
Ketiga, penyelesaian konflik secara damai dan bermartabat di Aceh masih belum menyentuh korban-korban konflik bersenjata. Bahkan menurut catatan Kontras Aceh, kekerasan masih kerap terjadi. Salah satunya peristiwa Atu Lintang, 5 dari 6 orang anggota Komite Peralihan Aceh tewas akibat penyerangan sekelompok orang tak dikenal.
Dalam menyelesaikan masalah Timor Timur, pemerintah berubah. Dulu selalu menolak bahwa yang terjadi di sana adalah konflik horizontal masyarakat. Sekarang, pemerintah mengakui telah terjadi crimes against humanity. Laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste menyimpulkan adanya tanggungjawab institusional militer. Sayangnya, kedua Negara ini tak berani memutuskan penuntutan kepada pelakunya. Secara politik, kasus ini diambil alih pemerintah. Tapi secara hukum, pengakuan crimes against humanity membuka peluang penuntutan pelaku di masa depan, tanpa batas waktu dan tidak bisa diamnesti.
Anda telah dikenal sebagai pejuang HAM sejak masih mahasiswa, apakah tidak lelah?
Jujur saja, pasti ada lelahnya lah.. Saya itu lumayan sering sakit dan keluar masuk rumah sakit dan juga akupunktur. Di saat-saat itu saya sadar bahwa mungkin saya kurang peka terhadap bagian-bagian penting di tubuh. Saya sering memaksanya terus bekerja tanpa kenal lelah dan terus berpikir mengikuti imajinasi dan keinginan. Padahal itu tak akan ada habisnya. Malah jika itu tak terkendali, manusia menjadi serakah. Mungkin ini dialami banyak orang. Kita lupa berterima kasih pada organ-organ tubuh, akal pikiran, tangan, kaki, sampai jantung. Kalau mengikuti keinginan terus, jadi repot. Seperti tidak menerima kenyataan.
Nah, saya punya cara untuk menenangkan batin saat berada dalam situasi itu. Dulu, sebelum meninggal, ibu saya adalah sumber energi untuk bangkit dari kelelahan. Bepergian bersama, shalat dan mengaji bersama atau sekadar obrolan lepas biasanya membuat saya lantas bugar lagi. Ada juga cara yang lain. Biasanya saya menemukan spirit pergerakan lagi saat bertemu teman-teman lama aktivis mahasiswa atau keluarga yang kehilangan anak-anaknya. Atau mungkin saat meluangkan waktu bermain musik sendirian seperti bermeditasi. Atau bermeditasi langsung dalam kesunyian. Waktu kecil, saya paling takut kalau sendirian di ruangan atau tempat yang sepi. Tapi sekarang malah menemukan kedamaian hati. Meskipun itu tak selalu mudah.
Hal apa yang pada awalnya menarik perhatian Anda terhadap permasalahan HAM?
Barangkali hal yang terjadi di sekitar keluarga orangtua di kampung. Mereka rata-rata bertani setiap hari, dan tradisi hidup itu sudah berlangsung turun temurun. Saat kecil saya melihat keadaan semacam ini sangat membahagiakan dan membanggakan. Tapi belakangan, setelah besar mulai terasa ada yang aneh. Mereka seperti kesulitan untuk menghidupi keluarga atau sanak famili. Padahal tanah yang mereka miliki tidak sedikit. Lebih tertarik lagi setelah saya belajar tentang hukum agraria di universitas Trisakti. Saya merasa ada begitu banyak persoalan tanah seperti di kampung saya. Mulai dari perjanjian bagi hasil yang tak menguntungkan bagi petani yang menggarap tanah sawah sampai dengan hilangnya akses petani atas lahan akibat keserakahan pelaku bisnis dan pelaku politik. Selama puluhan tahun, yang dipikirkan penguasa hanya keuntungan ekonomi sesaat lewat investasi asing. Pemerintah tak melindungi petani. Di tengah suasana bathin saat kuliah itulah terjadi penembakan mahasiswa di kampus, 12 Mei 1998. Ya sudah, makin jauh saya terlibat dalam pergulatan masalah hak asasi manusia.
Apa yang selalu menjadi keyakinan Anda, sehingga semangat Anda tidak pernah padam dalam hal ini?
Bahwa manusia pada dasarnya saling membutuhkan. Bahwa manusia jauh dari sempurna.
Semakin kita melihat kenyataan di berbagai tempat, semakin kita merasa tidak sempurna. Di tengah situasi itu, saya ingin merasakan kehadiran Tuhan. Kehadiran itu tak terasa saat saya hanya memikirkan diri sendiri. Atau tak peduli pada yang lemah. Keyakinan pada Tuhan itu hilang saat kita takut melawan pelanggar HAM, atau bahkan takut untuk sekadar menemani mereka yang lemah. Dengan menemani korban, memperjuangkan hak itu semampunya, saya merasa yakin apa yang saya lakukan ini adalah benar. Di situ saya merasakan kehadiranNya.
Begitu pula dengan kasus Munir, sepertinya Anda tidak pernah lelah mengusahakan kebenaran meskipun seringkali mentok dalam proses peradilan?
Benar, memang sulit jika kita menaruh harapan itu hanya ada peradilan. Sering mentok. Dalam dunia nyata kita, peradilan itu tak otomatis memberi keadilan. Socrates dulu seperti dipaksa pengadilan untuk menenggak racun hemlock. Ia seperti memilih bunuh diri. Satu pilihan tragis saat ia memperjuangkan budaya demokrasi di Athena. Ia tak menolak hukuman itu, tapi mematuhinya sebagai wujud ketaatan seorang warga atas keputusan pengadilan yang telah dijatuhkan kepada dirinya. Padahal Socrates paham betul bahwa vonis kepadanya telah menghilangkan unsur-unsur keadilan dan kebenaran, dengan lebih banyak memberikan putusan pada jenis pertimbangan yang keliru yakni menghabisi nyawanya sendiri. Nah, saya setuju dengan Socrates. Atau mungkin lebih tepatnya, saya tak ingin tragedi Socrates terulang dalam bentuknya yang lain di kasus Munir. Kita tak boleh menyerah pada putusan pengadilan yang membebaskan Muchdi. Karena itu bukan putusan yang adil. Tak ada fakta kebenaran yang kita dapat di balik pembunuhan Munir, selain kebenaran bahwa pengadilan ini berwawasan sempit dan gagal memahami denyut nadi keadilan yang menjadi tuntutan kita.
Sebenarnya fakta-fakta apa yang Anda miliki sehingga Anda begitu yakin memperjuangkannya?
Wah, pada awalnya malah tanpa fakta. Keyakinan itu timbul begitu saja, alamiah. Waktu itu, saya masih ingat betapa gelapnya kasus ini. Dari mana mulainya? Bayangkan saja, kematian Munir itu terjadi di dalam pesawat pemerintah dengan penerbangan internasional. Kematiannya misterius. Tanpa luka dan kekerasan. Ia hanya sempat terlihat sakit di atas pesawat, lalu tiba-tiba tidur dan tak bangun lagi menjelang mendarat. Tak ada yang bilang atau melihatnya dibunuh.
Itulah mengapa meski punya kecurigaan, kami tak menuding siapa pun. Upaya pencarian fakta kami lakukan sendiri, tanpa polisi dan jauh sebelum Presiden membentuk Tim Pencari Fakta. Kami datang ke Garuda, bertemu sejumlah pejabat dan karyawan Garuda. Semua orang yang kami temui tutup mulut. Tapi saya melihat sorot mata mereka banyak yang tak jujur. Sebagai karyawan, mungkin ada ketakutan tersendiri. Tapi untuk pejabat, saya yakin mereka sengaja menutupi. Sedikit demi sedikit mulai ada yang aneh.
Di situlah pertama kalinya kami punya kecurigaan terhadap orang Garuda, namanya Pollycarpus. Dilihat dari sosok, cara dan isi pembicaraannya orang ini bukan pilot murni. Tapi kecurigaan ini tak cukup. Perlu bukti yang kuat. Coba bayangkan, alat membunuhnya racun arsenik. Racun jenis ini tergolong kelas tinggi dan tak bisa ditemukan sembarangan. Tak berwarna, Tak berbau.
Lalu siapa yang bisa melihatnya? Setelah saya ikut delegasi kepolisian dan tim forensik ke Belanda, mulai banyak informasi masuk. Dari situ terus berkembang sampai kami menyimpulkan bahwa pembunuhan ini adalah pembunuhan konspirasi. Pelakunya dari pembunuh di TKP, pembantu di dalam Garuda, sampai operatornya yang ada di dalam Badan Intelijen Negara saat itu.
Sebagian besar fakta seperti dokumen, petunjuk dan saksi sudah terlihat di sidang kemarin kan. Terdakwanya Muchdi Pr, yang ditahan sejak Juni tahun lalu. Sayangnya, para saksi dari BIN takut sehingga mengubah kesaksiannya di depan pengadilan. Terdakwa Muchdi pun sama, tak berani mengakui terus terang apa yang terjadi. Kita lihat saja nanti bagaimana. Yang pasti kita tak bisa berhenti.
Mengapa bangsa Indonesia tidak boleh "lupa", bahwa kasus Munir belum terselesaikan?
Munir adalah pejuang, berani menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim. Dan banyak yang mengakui hal itu, baik kalangan pemerintah, militer maupun warga sipil biasa, baik di dalam maupun di luar negeri. Nah, dengan begitu maka pembunuhan terhadap seorang pejuang ini bisa menjadi ancaman bagi masa depan kehidupan kita, masa depan demokrasi, hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Pembunuhan ini juga bisa terjadi pada siapa saja, pada Munir, pada saya dan juga pada anda, pada siapa pun. Tugas kita adalah membuka semua tabir yang masih tersembunyi.
Kasus pembunuhan Munir bukan saja menunjukkan adanya konspirasi jahat yang begitu rapih dan terencana. Lebih dari itu, dalam konspirasi ini ada penyalahgunaan kekuasaan negara, dalam hal ini kekuasaan institusi intelejen, untuk mencapai tujuan kekuasaan tertentu dengan cara menghilangkan nyawa Munir. Komitmen untuk membongkarnya bukan saja dari kalangan masyarakat, tapi juga kalangan pemerintah, dari Presiden hingga DPR. Presiden menegaskan kasus ini adalah 'a test of our history' sebuah ujian bagi sejarah kita. DPR pun menyimpulkan ini sebagai kejahatan politik atau kekerasan negara.
Kini kita ditantang untuk melawan lupa. Melawan kebiadaban para pembunuh yang masih siap menerkam kita jika lengah. Kita ditantang untuk memenangkan pertarungan ini; melawan orang-orang yang telah menyakiti tubuh kemanusiaan entah atasnama apa. Mereka mencoba bersembunyi di balik topeng nasionalisme dan agama. JIka kita biarkan, berbahaya untuk masa depan anak cucu kita.
Muchdi PR akhirnya dibebaskan dalam kasus Munir dan Anda mengekspresikan kekecewaan besar terhadap ini. Sebenarnya bagaimana harapan Anda terhadap penanganan kasus ini?
Harapan saya penanganan kasus ini berakhir dengan terbukanya semua fakta yang merupakan kebenaran. Mengapa Munir dibunuh pada saat itu? Siapa saja yang terlibat dan mendalangi konspirasi jahat ini? JIka ini terungkap maka sejarah baru penegakkan keadilan bisa diciptakan untuk mewujudkan masa depan yang tanpa beban. Tentu saja mereka yang terlibat terutama yang mendalangi perbuatan pengecut ini bisa diadili dan mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Jawaban-jawaban yang jujur atas pertanyaan dan harapan inilah yang saya harapkan kelak diketahui oleh anak-anak kita dan anak-anak Munir, Alief dan Diva.
Di luar mereka, saya hanya berharap makin banyak yang berjuang menebarkan virus perdamaian dan anti kekerasan. Agar tak ada lagi orang yang dengan seenaknya menghilangkan nyawa orang lalu secara pengecut menyangkal segala bentuk perbuatan yang telah dilakukannya.
Apa langkah selanjutnya yang Kontras persiapkan?
Ada beberapa langkah yang kami persiapkan untuk membawa kembali Muchdi ke Pengadilan. Pertama, menggalang dukungan untuk mendorong terjadinya kasasi Jaksa ke Mahkamah Agung. Dalam hal ini kami berharap semua pihak, dari pimpinan pemerintahan seperti Presiden hingga kalangan Dewan Perwakilan Rakyat dapat mendukungnya.
Kedua, mengumpulkan bahan pendapat ahli hukum untuk menguji kualitas putusan hakim yang membebaskan Muchdi. Dalam hal ini kami sedang meminta beberapa lembaga independen seperti Komisi Yudisial dan Komnas HAM untuk turut berperan sesuai kewenangan masing-masing.
Ketiga, saat ini kami juga berkonsentrasi memeriksa kembali semua dokumen bukti, petunjuk dan saksi sekaligus mencari bukti-bukti tambahan melalui bantuan masyarakat. Kami membuka Pos Informasi Hotline di kantor kami. Targetnya adalah bukti baru. Langkah ini kami siapkan untuk mengantisipasi skenario buruk selanjutnya, seandainya upaya kasasi juga mengalami kegagalan. Jika berhasil, bukti ini pun tetap akan kami kembangkan agar proses hukumnya bisa menyentuh aktor utama di balik konspirasi pembunuhan Munir.
Jadi, kami tak akan tinggal diam apalagi menyerah. Kami ingin punya pemimpin yang berani menegakkan keadilan di rumah kita Indonesia.
Thursday, June 28, 2012
In The Midst of Blessings
Beruntung sekali punya dua orang tua, yang tali kasihnya tak pernah kendur. Dari bangun pagi sampai tidur. Dari lahir, sampai ke liang kubur.
Beruntung sekali punya dua abang, yang tak pernah bosan memberi teladan dan pengajaran. Bekal hidup di dunia yang rawan.
Beruntung sekali punya dua adik, yang cantik lahir dan batinnya. Sedia menolong kapan saja. Dengan ataupun tanpa diminta.
Beruntung sekali saya berada di tengah mereka...
Beruntung sekali punya dua abang, yang tak pernah bosan memberi teladan dan pengajaran. Bekal hidup di dunia yang rawan.
Beruntung sekali punya dua adik, yang cantik lahir dan batinnya. Sedia menolong kapan saja. Dengan ataupun tanpa diminta.
Beruntung sekali saya berada di tengah mereka...
Wednesday, June 27, 2012
Menjadi PR di Zaman Sekarang
Dibandingkan dengan dekade sebelumnya, PR zaman sekarang jauh lebih mudah dalam banyak hal. Ketika saya bekerja sebagai PR suatu perusahaan di tahun 2002, standar pekerjaan PR adalah mengirim fax, mengisi media kit, mengulik direktori alamat-alamat media untuk menyusun media list dan memindai serta mengarsip pemberitaan dari koran.
Bahkan di era itu, untuk menjangkau perhatian massa lewat media untuk kampanye produk secara nasional, kita harus siap menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk pengumpulan database dan memonitor pemberitaan di media atau secara acak menelepon langsung media-media besar dalam daftar (kurang masuk akal, namun cukup sering terjadi). Singkat kata, semua yang saya lakukan secara manual dulu, kini tersedia dalam format digital, mudah dicari atau bahkan otomatis mudah ditemukan.
Tetapi makin saya telaah lebih jauh, ternyata hal-hal yang esensial dari PR tetaplah sama: menggerakkan orang melalui terjalinnya hubungan yang bermanfaat dan terpercaya antar organisasi, orang dan pihak-pihak terkait untuk bertindak. Ketercapaian hal itu akan menjadi tolak ukur keberhasilannya.
Lalu apa yang berubah? Media, ketersediaan, pasar, dan harapan mereka pada perusahaan penyedia jasa PR. Saat ini media lebih banyak, mereka bergerak lebih cepat dan apa yang mereka harapkan dari perusahaan PR, para tokoh-tokoh berpengaruh, klien dan pasarnya pun ikut terpengaruh. Resiko dan kesempatan pun menjadi lebih tinggi.
Apakah modal utama praktisi PR saat ini? Banyak sekali jenis keahlian yang bisa kita pelajari dan latih; selain daripada itu, ‘cara berpikir’ juga berperan. Saya akan memulai –Anda bisa mengajukan pendapat Anda juga – kira-kira apa yang ingin ditambahi.
Bersusahpayahlah untuk hal kecil. Orang PR adalah pemberi solusi. Kitalah si bibi titi-teliti dan si cerewet. Kitalah yang memastikan si reporter menerima berita lengkap dan nomor telepon yang benar sudah tercantum pada media list dan press release. Kita yang harus menemukan dan mengusahakan mikrofon, band tanjidor atau pemain organ tunggal, jika acara yang kita urus memerlukan mereka. Kita mendengarkan – dan memastikan pesan yang diinginkan tersampaikan dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. Ayah saya selalu bilang kepada anak-anaknya,”Don’t sweat the small stuff,” ketika kami meributkan hal-hal kecil dan akhirnya kehilangan tujuan dari ide besar semula. Tetapi saya memilih menjadi seorang PR. Artinya, saya harus siap mengurusi hal-hal kecil – supaya orang lain (baca: klien) tidak direpoti hal-hal kecil tersebut.
Kenali marketmu. Siapa yang Anda inginkan untuk mendengarkan cerita Anda? Tindakan apa yang Anda ingin mereka lakukan? Anda pasti terkejut kalau tahu betapa banyaknya jagoan komunikasi dan marketer yang kesulitan menjawab pertanyaan sederhana tadi.
Kenali mediamu. Orang PR harus jeli melihat tokoh mana yang berpengaruh bagi market tertentu. Jika tidak, bagaimana mungkin kita tahu cerita yang bagaimana yang akan berhasil atau tidak? Banyak orang PR yang membaca koran, namun jarang dari mereka yang mengikuti berita online. Atau, mereka membaca berita online, namun tapi tidak membaca koran. Mereka tidak membaca blog atau mereka justru hanya membaca blog. Mereka tidak pernah men-set RSS feed, atau mencoba Twitter dan Facebook — atau berpikir bahwa mereka bisa mendapatkan berita dari sana. Mereka tidak pernah menonton berita di malam hari atau menonton Oprah dan Ellen, karena orang-orang yang mereka kenal juga tidak menontonnya. Intinya adalah mengenali medianya. Mencintai medianya. Mencoba kenal dengan siapa, melakukan apa dan menulis apa dan mengatakan apa. Mencatat bylines dan profil-profil di blog, followers, pendataan penonton dan ‘pihak yang berwenang’. Memahami di mana semua percakapan menarik terjadi. Dan ke manakah Anda atau perusahaan Anda bisa dan harus melibatkan diri.
Menjadi media. Satu lagi hal ‘zaman sekarang’. PR perlu lebih berpikir seperti seorang produser ketimbang sebagai seorang penyedia. Apakah yang akan kita komunikasikan hari ini? Bagaimana khalayak menemukan cerita kita? Bagaimana caranya menemui mereka di posisi kita sekarang? Bagaimana kita membuat mereka ‘bertindak’ hari ini?
Berpikir di luar dari perusahaan/klien. Menjadi lebih objektif. Terkadang, Anda harus bisa menjadi corong yang mewakili market Anda di depan klien atau tim internal. Cerita apa yang boleh disebarluaskan dan yang tidak. Klien kita memerlukan seseorang yang bisa melakukan ini – mengatakan kepada mereka bagaimana reaksi publik terhadap tindakan mereka dan dengan tegas menekankan kepada klien untuk mempertimbangkan keputusan mereka.
Lakukan riset… dan memilah. Observe! Kemampuan untuk mengumpulkan dan memilah informasi adalah hal vital dalam apapun yang kita lakukan. — dimulai dari mengerti market dan lingkungannya hingga mendapatkan latar belakang seorang blogger atau reporter sebelum Anda memulai wawancara. Sangatlah vital untuk memiliki kemampuan untuk membantu perusahaan agar lebih memahami lingkungan mereka berada – dan terhubung dengan pemahaman akan kemampuan mereka untuk mencapai tujuannya. Seorang mantan boss saya di perusahaan sebelumnya menugaskan saya untuk selalu melakukan observasi, ke manapun saya berada. Orang tua saya pernah mengingatkan bahwa mempelajari sesuatu itu tak pernah merugikan, akan selalu menjadi investasi. Saya sangat setuju dengan hal itu.
Memahami pendataan. Dunia maya menjanjikan berbagai bentuk pendataan, pengukuran performa dan analisis yang sebelumnya tidak tersedia bagi profesi PR. Saat ini, vital sekali untuk seorang PR memahami analisa-analisa digital ini dengan baik agar dapat membangun tanggapan yang terukur dan mengikutsertakannya di dalam program yang dibuat. Beruntung sekali kini kita sudah dibekali Awesometrics sebelum memulai sebuah strategic planning sebuah proyek. Bayangkan 10 tahun lalu, ketika jumlah media online saja masih bisa dihitung dengan jari. Artinya, kini kita perlu lebih memahami bagaimana caranya membangun pendataan yang berkesinambungan dalam program-program yang kita buat. Ini bisa kita mulai dari perlahan memahami bagaimana dunia digital dan analisa dunia maya bekerja.
Memahami tujuan. Ini sederhana sekali: Kita, tidak melakukan PR untuk memberitakan potongan video atau jumlah pengunjung website atau penulisan blog atau tautan atau kegiatan viral. Kita bahkan tidak perlu melakukannya untuk menaikkan ‘atensi publik’ atau memulai pemberitaan ‘word-of-mouth’. Kita melakukan PR untuk mendongkrak penjualan, menjaga dan membangun kesetiaan pelanggan, mendapatkan dukungan, mengumpulkan jumlah suara atau mempengaruhi opini publik. Kita melakukan PR untuk mengubah perilaku. Jika praktek PR tradisional bisa terukur melalui berubahnya perilaku, namun kegiatan kita tidak berhenti sampai di sini. Tugas kita bukan menciptakan marketing buzz yang memuaskan hasrat berkarya personal kita, tetapi kembali lagi, tugas kita adalah ‘menjual’ sesuatu.
Tulislah. Bercerita sangatlah penting dalam berkomunikasi. Tak ada yang bisa menggantikan tulisan yang baik. Tidak juga batasan 140 karakter, atau video, atau laman di dunia maya. Semuanya dimulai dari tulisan yang baik. Tapi usaha Anda tidak berakhir di sini saja.
Berkomunikasi di berbagai jenis media. Perubahan terbesar dalam dunia media saat ini adalah naiknya pamor berbagai jenis media. Kenalilah jenis-jenis media tersebut. Di mana sajakah suatu podcasts bisa dijadikan alat penyelia siaran media? Di manakah yang lebih efektif saat kita berkomunikasi menggunakan video? Di manakah suatu animasi, game, atau gambar bisa mengomunikasikan apa yang tidak bisa dicapai oleh sekadar kata-kata? Orang-orang PR tidak perlu menjadi tenaga ahli di berbagai jenis media ini, namun mereka harus bisa memahami cara kerja dan sisi menarik dari setiap media tersebut.
Jadilah lebih cerdas. Reporter seringkali mengeluhkan praktik PR yang buruk. Demikian juga para blogger. Hampir tidak ada maaf bagi mereka yang menghubungi suatu sumber secara acak karena melakukan riset dengan cara ini adalah yang paling mudah. Mereka tahu itu dan Anda seharusnya juga tahu.
Investasi hubungan seluas-luasnya. Jadilah orang yang baik hati dan siap membantu siapa saja jika mampu. Di dunia yang saling terhubung ini, dengan mudah kita akan selalu saling dipertemukan di berbagai fora. Jika Anda memasuki sebuah ruang lingkup kerja yang sama sekali baru, pasti akan sangat menyenangkan jika sudah ada ‘wajah lama’ yang Anda kenali dan bisa membimbing Anda di dunia itu.
Nah, itu tadi daftar saya sejauh ini. Tertarik untuk menambahkannya dengan daftar Anda?
Sunday, May 06, 2012
Cultural Trip to MUARO JAMBI 18-20 Mei 2012
[ Program ini dipersembahkan oleh GELAR - didukung National Geographic Traveler, Digital Camera Indonesia dan Travel Photography ]
“Saksi Bisu Kejayaan Swarnadwipa”
Siapa yang menyangka bahwa kota Jambi dibangun diatas candi yang bisa jadi adalah candi termegah di dunia? Para arkeolog pernah menyebutkan bahwa situs candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi terluas yang pernah ada sekaligus lokasi pemukiman kuno terbesar dan terpadat di pulau Sumatera. Muaro Jambi juga diperkirakan adalah pusat penyebaran dan perguruan tinggi agama Buddha di Asia Tenggara antara abad ke 7-14 Masehi. Kawasan percandian seluas 2.612 hektar yang terdiri dari 90 bangunan candi dengan berbagai bentuk itu juga menjadi tempat mengalirnya sungai terpanjang di Swarnadwipa, sungai Batanghari. Sesuai dengan nama Swarnadwipa yang berarti pulau emas, aliran sungai Batanghari mengandung banyak deposit emas sehingga wilayah Muaro Jambi merupakan jalur perdagangan penting dan eksportir emas terbesar di kawasan Asia Tenggara pada waktu itu. Kisah kebesaran Swarnadwipa ini juga tercatat dalam sumber yang ditulis pada era Dinasti Tang di Cina, yang menyebutkan adanya perjalanan seorang pendeta Buddha bernama I-Tsing pada 672 Masehi ke India guna memperdalam agama Buddha. Dalam perjalanannya, ia singgah di Nusantara serta mendeskripsikan sebuah kolam yang diyakini sama dengan peninggalan yang ditemukan di Muaro Jambi.
“Cultural Trip to Muaro Jambi” ini dikemas bagi pencinta seni budaya Nusantara dengan sentuhan ringan dan bersahabat. Bersama narasumber arkeolog, peserta diajak menyaksikan langsung keberadaan situs yang menjadi saksi jaman keemasan Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya abad ke 7-14, sambil mengenal keunikan budaya setempat!
BIAYA :
Rp. 4.150.000,- / orang (sharing 1 kamar berdua)
Biaya sudah termasuk :
Transportasi Jakarta-Jambi-Jakarta dengan pesawat udara + airport tax ; transportasi lokal Jambi ; akomodasi 3 hari 2 malam ; konsumsi selama di Jambi ; donasi keberlanjutan seni budaya / konservasi.
Biaya boleh diangsur 2 x dengan perincian :
Pembayaran 1 (DP) Rp. 2.000.000,- bisa dibayar mulai 3 Mei 2012
Pembayaran 2 (pelunasan) Rp. 2.150.000,- paling lambat 10 Mei 2012.
(DP tidak dapat dikembalikan bila peserta melakukan pembatalan)
INFORMASI & PENDAFTARAN :
Eko 0877-71757151 / Miyoshi 0856-1475720
Tulisan ini dipublikasikan dari milis Mediacare
Monday, April 09, 2012
Reading Room
Pernah pada suatu masa, saya adalah pembaca buku yang sangat lahap. Buku-buku seperti mampu menyihir saya dan mengantar saya bertualang ke sebuah dimensi lain. Dimensi yang tak mampu saya raih sendiri.
Tetapi masa-masa itu telah lama berlalu...
Masa-masa itu telah ikut hilang bersama mimpi-mimpi muda saya. Masa-masa itu adalah masa dimana waktu berlimpah ruah dan bukan sesuatu yang mewah. Kini hanya tersisa seorang saya yang hidup seperti robot dan diprogram untuk mengumpulkan keping-keping rejeki setiap hari. Membudak pada peradaban kota.
Seorang sahabat lalu datang kembali pada saya dari perjalanannya - pencariannya. Seperti saya, dia juga seorang pria paruh baya.
Tetapi tidak seperti saya, dia masih kembali dengan mimpi-mimpi itu. Tidak seperti saya, dia tidak cuma bisa bernyanyi Viva La Vida, lalu meratapi waktu yang telah berlalu dan tidak selalu berpihak. Tidak seperti saya, dia masih bermimpi dan ketika terjaga, dia beri kaki pada mimpi-mimpinya agar bisa melangkah dan berlari di dunia nyata.
Sahabat saya itu, sang pujangga dan sutradara, Richard Oh namanya...
Dengan keyakinan yang mantap, sahabat saya itu kembali dari tetirahnya di Pulau Dewata. Di benaknya telah terbangun sebuah rencana. Sebuah rencana yang ia dedikasikan untuk kecintaan terbesarnya, dunia pustaka dan sinema.
Beberapa tahun yang lalu, sahabat saya ini memang terkenal sebagai salah seorang pengusaha toko buku eksklusif di Jakarta, QB. Dia memelopori kehadiran toko buku import di Indonesia. Tak cuma toko buku, Richard juga mendirikan usaha penerbitan yang banyak menerbitkan kembali karya-karya pujangga Nusantara. Singkat cerita, entah karena apa, satu persatu toko buku QB terpaksa tutup. Tetapi mimpi-mimpi Richard Oh tidak ikut padam. Bersahabat dengannya selama lima tahun terakhir ini memberi saya kesempatan untuk melihat mimpi-mimpi itu terus tumbuh di benaknya dan akhirnya terealisasi.
Akhirnya mimpi-mimpi Richard Oh terwujud lewat Reading Room, sebuah lounge untuk pecinta buku. Di sini dijual buku-buku impor berkualitas dengan harga sangat terjangkau. Yang menarik, buku-buku di tempat ini ditata sedemikian rupa sehingga menjadi bagian dekorasi tempat ini. Lounge buku ini juga ditata dengan sangat apik sehingga pengunjung dengan cepat akan merasa nyaman hadir di tengah-tengah buku-buku itu. Tidak cuma buku, tempat ini juga dilengkapi dengan sebuah screening room canggih. Di screening room ini akan diputar sinema alternatif yang akan memperkaya wawasan pengunjungnya.
Mungkin setiap orang bisa saja membuat tempat berkonsep sama. Tetapi Reading Room tetap akan berbeda, mengapa begitu? Karena tempat ini tidak cuma tempat usaha. Reading Room dibangun dengan pondasi mimpi-mimpi dan rasa cinta pada pustaka dan sinema yang begitu besar. Mimpi dan cinta itu yang akan tetap memutar rodanya. Semoga Richard tidak akan pernah kekurangan impian dan rasa cintanya saat mengelola tempat ini.
Kembali kepada saya, berdirinya Reading Room memberi saya kesempatan untuk terhubung kembali dengan mimpi-mimpi saya dahulu. Bagaimana mungkin saya begitu tenggelam dalam kenyataan, sampai saya lupa bermimpi. Buku-buku yang terpajang di dinding Reading Room seperti menantang saya untuk kembali bermimpi dan mewujudkannya. Buku-buku itu menceritakan dunia-dunia yang hidup hanya di mimpi saya dan harus saya capai.
Lalu apa yang akan saya impikan saat ini? Saya belum tahu. Sekarang, saya ambil sebuah buku dan menemukan dimensi lain di luar sana dan mengkonstruksi lagi mimpi-mimpi saya. Seperti saya copas dari Google: Don't be afraid of the space between your dreams and reality. If you can dream it, you can make it so. Jadi, mari bermimpi.
Bagi teman-teman yang ingin ikut bermimpi dengan saya, silakan mampir ke Reading Room di Jl. Kemang Timur no 57 Jakarta Selatan.
Subscribe to:
Posts (Atom)