Di dunia ideal,
praktisi public relations selalu
punya waktu untuk melakukan riset sebelum mereka memulai suatu program ataupun
aktivitas. Selain itu, organisasi yang bekerja sama dengan mereka biasanya akan
meminta hasil riset tersebut sebagai elemen inti pengembangan strateginya.
Riset yang
dilakukan public relations memiliki
potensi menjadi fondasi untuk membangun si public
relations yang lebih baik selain membangun organisasi bersangkutan itu
sendiri. Praktisi public relations
bisa menggunakan hasil risetnya untuk mengembangkan strategi dan program
kemudian mengevaluasi hasilnya.
Peran Riset dalam Praktek Public Relations
Misalnya, seorang CEO
bertanya, apa saja yang sudah dicapai berbagai departemen di perusahaannya
selama beberapa tahun belakangan ini, si CEO ini ingin tahu bagaimana setiap
departemen berkontribusi pada tujuan pencapaian organisasinya. Nah, bagi
departemen public relations, pencapaian
tidak hanya dilihat dari berapa banyak siaran media yang dibagikan, newsletter pegawai yang diterbitkan,
atau jumlah orang yang mengunjungi situs internalnya. Semua yang disebut tadi
hanyalah output-nya.
Yang sebetulnya
harus dicapai oleh departemen Public Relations
adalah seberapa besar kontribusi mereka pada kesuksesan bisnis organisasinya.
Bagaimana caranya mereka mempengaruhi perilaku atau sikap publik yang bisa
membuat organisasinya lebih baik? Di sinilah riset yang dilakukan oleh Public relations sangat berperan dalam
mengindentifikasi isu-isu penting yang berhubungan dengan ruang lingkup
kerjanya, lalu mengembangkannya menjadi strategi public relations, serta menggunakannya untuk mengukur pengaruh
program tersebut terhadap perusahaan. Tanpa adanya riset, praktisi akan
mendapatkan output yang kecil dengan
mengandalkan dugaan-dugaan atau asumsi belaka sebagai bahan laporan. Tanpa
adanya riset, praktisi tidak bisa menunjukkan bagaimana caranya suatu program public relations dapat menggerakkan
perubahan.
Broom and Dozier
(1990) mendefinisikan riset sebagai “kumpulan informasi yang terukur, objektif,
dan sistematis yang bertujuan untuk menjelaskan dan mengarahkan
pengertian" (hal. 4). Riset merupakan bagian integral proses kerja public relations. Dua tahap dari empat
tahap dalam proses kerja public relations,
seperti yang dikembangkan oleh Cutlip, Center, and Broom (2000), mengandalkan
hasil riset: mendefinisikan masalah dan kesempatan di dunia public relations, serta mengevaluasi
programnya. Model ROPE milik Hendrix (riset, objektif, program, dan evaluasi) dan
model dari Marston RACE (riset, aksi, komunikasi, dan evaluasi) sama-sama
membahas bahwa bergantung pada riset merupakan hal pertama dan terakhir dalam
proses kerja public relations (seperti juga disebutkan oleh
Stacks, 2002).
Cutlip dll mengatakan
dalam risetnya bahwa, “riset adalah fondasi yang efektif untuk public relations” (2000, hal. 343).
Stacks mengatakan, “Sederhana saja, tanpa riset Anda tidak bisa
mendemonstrasikan efektivatas program Anda” (2002, hal. 4). Gronstedt (1997) menyebutkan
bahwa riset menyediakan data kasar yang diperlukan untuk memperkuat nilai suatu
organisasi selain juga menyediakan informasi yang membantu terbentuknya
keputusan yang berdaya saing. Riset merupakan bagian penting dari manajemen public relations untuk membantu praktisi
memfokuskan diri pada tujuan, objektif, dan hasil, bukan melulu pada output, dan dalam prosesnya, akan
menciptakan metode yang sistematis dalam melakukan semuanya.
Riset juga menjadi hal
fundamental yang bisa dijadikan acuan bagi beberapa contoh praktek public relations yang unik, termasuk
praktek ala sistem terbuka dan ala two-way.
Peran dari si public relations haruslah lebih dari sekadar menyampaikan pesan
si organisasi atau seperti yang sering disebut sebagai taktik berkomunikasi “inside-out” (Gronstedt, 1997, hal. 39). Dalam
model sistem terbuka, public relations
juga sering menggunakan taktik “outside-in”
dengan cara mengomunikasikan kembali kepada organisasinya apa yang dipercayai,
dirasakan, dan dikhawatirkan oleh publik yang dijadikan target utama (Gronstedt,
hal. 39). Pada model sistem terbuka, organisasi dan publik saling bertukar
informasi, dan mempengaruhi satu sama lain. Di sinilah pentingnya riset sebagai
fasilitator pertukaran informasi ini. Riset menyediakan tujuan bagi organisasi
untuk menelaah lebih dulu lingkungan di mana publik dan isu-isu yang ingin
diangkat. Riset membuka potensi di mana organisasi bisa membangun hubungan baik
dengan area yang ingin dicakup agar pengembangan program dan tindakan taktis
dapat meminimalisir melebarnya masalah yang tidak perlu. (Broom & Dozier,
1990; Cutlip, Center, & Broom, 2000).
Komunikasi model
simetrikal dua arah diajukan pertama kali oleh James E. Grunig, ia menekankan
pentingnya organisasi dan publik yang menjadi target utama untuk saling
terlibat dalam dialog rutin demi membangun hubungan baik yang saling
menguntungkan. Maka riset pun harus menjadi bagian dari dialog. “Dengan model
simetrikal dua arah, para praktisi dapat menggunakan riset dan dialog yang
bermanfaat saat terjadi perubahan pada ide-ide, sikap dan perilaku baik dari
organisasi maupun publik yang terlibat” (Grunig, Grunig, & Dozier, 2002, hal.
308). Riset lebih jauh dapat dilakukan untuk mengukur hubungan kerjasama dan
mengidentifikasi berbagai indikator yang bisa dijadikan sebagai pengukur
hubungan kerjasama yang baik antara organisasi dan public relations-nya (Grunig
& Hon, 1999).
Grunig et al. menemukan
bahwa “Public relations yang baik
adalah yang menggunakan riset (dua-arah), simetrikal (walaupun pada prakteknya
organisasi berjuang menyeimbangkan antara faktor simetri dan asimetri saat
mereka membuat keputusan) dan komunikasi secara personal maupun tidak langsung (dilihat
dari situasi dan publiknya)” (2002, hal. 25-26).
Maka, riset
sangatlah fundamental. Ada juga yang mengatakan bahwa, “Dibandingkan dengan
program yang digarap seadanya, program public
relations yang hebat adalah yang didasari oleh riset yang mempertimbangkan pemetaan
pasar dan sudah melakukan berbagai macam evaluasi pada risetnya (klinis,
kliping, dan umum)” (hal. 26).
Riset juga bisa
memberikan manfaat pada karir si praktisi selain bermanfaat bagi organisasi dan
departemen public relations-nya.
Broom and Dozier mencatat dari beberapa ilmu, termasuk ilmu mereka sendiri ada
hubungan erat antara riset PR dan partisipasi PR dalam membuat keputusan
manajerial. “Rasanya akan seperti Anda tidak diundang ke meja bundar tempat
semua keputusan dibuat, kecuali Anda berkontribusi pada proses pengambilan
keputusan lewat pengumpulan data-data sistematis, - hasil riset” (1990, hal.
10). Austin, Pinkleton, and Dixon (2000) juga mencatat, “Sepertinya sudah jelas
bahwa mereka (public relations) yang
memiliki keahlian dalam hal produksi tetaplah memerlukan kekuatan melakukan
riset secara baik untuk mememperkuat data yang mereka punya jika mereka ingin
menaikkan status pekerjaan mereka ke pekerjaan yang sifatnya lebih manajerial”
(hal. 249).
Periset lain juga
menemukan hubungan yang serupa pada kemampuan seseorang untuk melakukan riset
dengan kemajuan karirnya. Grunig et al. (2002) mencatat bahwa dalam suatu
organisasi, keahlian seseorang dalam berstrategi sangatlah dihargai, karena
manajer departemen public relations
biasanya lebih baik dalam melakukan peran teknis dan manajernya dibandingkan
melakukan peran strategis. Peran strategis memerlukan keahlian mengevaluasi
riset, pemetaan pasar dan riset publik yang tersegmentasi. Implikasinya, para
manajer komunikasi ini kemungkinan besar atau cenderung dianggap sebagai
manajer yang mampu berstrategi jika memiliki keahlian meriset.
Akan tetapi apa yang
terjadi? Pada kenyataannya, banyak sekali departemen public relations yang
tidak melakukan riset atau hanya melakukannya sambil lalu, walaupun bukti kuat
bahwa riset public relations
merupakan hal penting dalam membuat program-program yang lebih efektif sudah
banyak diketahui. Pada sebuah survei, sebanyak 50 percent responden mengatakan
bahwa mereka jarang atau tidak pernah mengalokasikan dana untuk riset (Gronstedt,
1997). Alasan paling umum adalah minimnya dana untuk melakukan riset, kurangnya
pelatihan riset, dan adanya ketakutan kinerja program mereka yang akan dianggap
tidak sukses jika ada data-data riset yang merujuk ke arah itu. Sedangkan bagi
organisasi yang melakukan riset, total biaya yang mereka keluarkan hanyalah 10
percent dari total dana yang direncanakan (Williams, 2003). Para praktisi public relations seringkali tidak sadar
bahwa riset sederhana sudahlah tersedia dan bisa didapat dengan berbagai cara
yang mudah dan kadang nyaris tanpa biaya apapun (Hon, 1998). Riset sederhana
meliputi “mencermati data-data yang sudah tersedia,” termasuk di antaranya
informasi akademis, perdagangan dan jurnal-jurnal profesional (Lindenmann,
2003, hal. 3).
Banyaknya
program-program yang memenangkan penghargaan penting di bidang public relations menandai meningkatnya
riset yang dilakukan public relations.
Stacks (2002) mencermati bahwa prosentase penerima penghargaan PRSA Silver
Anvil yang menggunakan riset serius untuk kampanye mereka meningkat dari 25 persen
di tahun 1980 ke 75 persen di tahun 1998. Program penghargaan IABC’s Gold Quill
juga termasuk dalam komponen yang menjadi ukuran. Ada pula penghargaan tahunan Jake
Wittmer Award yang digagas oleh sebuah asosiasi untuk memberikan penghargaan
kepada praktisi penguna riset untuk mengembangkan program yang efektif bagi
proyek komunikasi mereka (Williams, 2003). Campaignasia turut melaporkan bahwa
Samsung, si raksasa dari Korea menggunakan jasa riset dari Nielsen untuk
membantu mereka mendapatkan informasi berskala global sehingga Samsung berhasil
menjadi merek No. 1 menurut laporan Campaign Asia-Pacific 2012 Asia’s Top 1000
Brands.
Apa Kegunaan Riset PR
Riset public relations menyediakan fondasi
bagi apapun yang ingin dilakukan seorang komunikator, termasuk di dalamnya mengidentifikasi
dan memahami kelompok publik yang dijadikan target utama, menggarap isu-isu
penting, mengembangkan strategi organisasional dan public relations dan mengukur hasilnya (Gronstedt, 1997). Hasil
riset juga bisa digunakan untuk membuat publikasi, seperti yang disebutkan
dalam hasil survei bahwa organisasi dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan
publikasi.
The Institute of
Public Relations mengidentifikasi delapan grup penting yang berkomunikasi
dengan organisasi public relations.
Kedelapan grup ini meliputi komunitas, perusahaan (pegawai, persatuan pegawai,
manajer), pelanggan, suppliers, pasar uang, distributor dan vendor, calon
pegawai, dan pemuka masyarakat (media, kelompok aktivis) (Oliver, 2001). Ada
pula grup-grup yang lebih kecil daripada mereka. Memang tidak banyak organisasi
yang memiliki sumber daya untuk menjaga hubungan baik yang kuat dengan berbagai
grup setiap waktu walaupun tidak terlalu diperlukan. Riset juga membantu departemen
public relations mengidentifikasi
target utama mereka dan isu-isu yang berhubungan, maka organisasi pun dapat
memfokuskan perhatiannya pada area-area yang paling berpengaruh dan bernilai.
Riset juga membantu
identifikasi pengetahuan, kecenderungan dan perilaku sehari-hari publik, sumber-sumber
informasi mana yang mereka percaya dan bagaimana cara mencapainya dengan mudah.
Grunig et al. (2002) menemukan bahwa riset memegang peranan penting bagi
organisasi dalam merespon publiknya atau dalam hal ini, para aktivis. “Departemen
public relations yang hebat dapat
memetakan [lewat riset] dan secara berkesinambungan menyuarakan pesannya,
terutama pengambilan keputusan kepada publik, terutama aktivis” (hal. 27). Departemen
yang hebat juga akan menggunakan riset untuk merencanakan dan mengevaluasi
program-program komunikasi mereka.
Ingatlah bahwa
tujuan dari kampanye public relations
adalah tampil beda dan mendobrak penghalang yang tercipta antara produk dan
pasarnya, ide atau jasa. Contoh dari penghalang ini adalah resesi ekonomi atau
komunitas yang kompetitif. Strategi yang tepat akan dapat mengalahkan dan mendobrak
penghalang ini dengan lebih efisien. Dengan riset, kita akan bisa membantu
suatu produk menyusun strategi dan menciptakan kampanye PR maupun marketing
yang baik. Namun sekali lagi, hanya waktulah yang akan menentukan apakah
strategi kita berhasil atau tidak.