Wawancara dengan Usman Hamid pada 2009
Perjuangan yang dilakukan oleh mendiang Munir Said Thalib, mungkin telah berhenti pada 7 September 2004, ketika racun arsenik telah menghentikan detak jantungnya. Namun perjuangan belum selesai, ketika itulah Usman Hamid tampil ke muka dan meneruskan perjuangan Kontras untuk menegakkan HAM di Indonesia.
Baru-baru ini Anda menolak sebuah penghargaan karena sebuah iklan yang mereka tayangkan di televisi, padahal penghargaan itu kan artinya pengakuan terhadap berbagai upaya yang Anda lakukan?
Entahlah. Waktu itu, spontan saja saya menolaknya. Mungkin anda benar soal iklan itu. Penghargaan memang bisa berarti pengakuan. Tapi pengakuan yang sejati idealnya menuju pada konsistensi satu nilai, agar tidak hipokrit.
Begini, iklan partai tersebut di televisi itu adalah iklan politik. Ia menempati bidang kontestasi yang mempertemukannya dengan kelompok atau partai lain. Nah, setiap kelompok atau partai memiliki klaim atas tradisi dan pendasarannya sendiri. Tradisi ini harus dihormati karena merupakan bagian dari kekhasan serta identitas perjuangan setiap partai atau kelompok. Dalam konteks kontestasi, iklan itu menjadi ofensif karena pengambilan identitas atau tradisi yang lain selalu diartikan sebagai taktik untuk mengurangi yang lain.
Kedua, iklan itu menempatkan Soeharto sebagai pahlawan dan sama dengan pahlawan atau tokoh bangsa seperti Muhammad Natsir, KH Ahmad Dahlan serta KH Hasyim Asy'ari. Tokoh-tokoh ini amat saya kagumi karena integritas pribadi, keberanian dan pengorbanannya menentang kejahatan dan membela kaum yang lemah. Hingga kini belum ada penggantinya.
Sedangkan Soeharto berbeda, akhir hayatnya berstatus tersangka korupsi. Tak ada amnesti atau abolisi dari Presiden SBY. Kasus hukumnya tak dideponir Jaksa Agung. Nama Soeharto pun berada di peringkat tertinggi sebagai pemimpin terkorup di dunia. Kasus pidananya berhenti bukan karena tak ada bukti, tapi lebih karena kesehatannya. Itulah mengapa Kejaksaan lalu menggugat harta kekayaan yayasan Soeharto karena dianggap hasil korupsi. Nah, Partai ini selalu mengklaim sebagai partai anti korupsi. Lalu, iklan itu mau memberi pengakuan apa?
Kalau mereka mengakui aktivitas Anda, bukankah berarti mereka menerima prinsip-prinsip Anda juga?
Benar. Semakin banyak orang, apalagi partai menerima prinsip-prinsip HAM akan membuat HAM menjadi semakin universal dan perjuangannya menjadi lebih baik. Nah, sayangnya, penegasan prinsip ini tak jelas. Kalau dilihat dari penjelasan Sekjennya, iklan itu adalah ajakan rekonsiliasi. Pernyataan ini membuat prinsip itu kian tak jelas. Siapa yang mau direkonsiliasi? Apa yang direkonsiliasikan?
Sebagai pemimpin, Soeharto mundur dari jabatannya saat rakyat susah karena sembako, utang luar negeri dan krisis moneter 1997/98. Bagi saya, bukan pemimpin jika mundur begitu saja, apalagi jika dituduh KKN. Pemimpin harus berani bertanggungjawab. KKN itu bukan perkara politik. KKN adalah sebuah kejahatan atau tindak pidana. Pelakunya harus dihukum. Hasil korupsinya harus dikembalikan pada negara dan dibagi pada yang miskin, yang membutuhkan.
Itulah mengapa ada TAP MPR XI/1998 yang menegaskan bahwa Negara wajib mengusut praktik KKN Soeharto dan kroni-kroninya. Inilah amanah reformasi yang harus kita hormati. Itu baru satu. Belum lagi jika kita bicara pelanggaran HAM seperti di Aceh.
Prinsip saya, negara hukum (rechtstaat) dan penghormatan martabat manusia. Untuk apa? Agar ada keadilan. Tanpa menghormati nilai ini, maka itu bukan rekonsiliasi. Rekonsiliasi elite tak akan banyak membawa perubahan, kecuali sekadar pencitraan menjelang Pemilu 2009.
Apa mungkin Anda takut/enggan dijadikan komoditas politik salah satu kubu menjelang Pemilu?
Saya kira pertimbangan waktu itu jauh melampaui sekadar kekhawatiran dijadikan komoditas politik. Seperti telah saya terangkan sebelumnya.
Mengapa Anda berpikir bahwa menerima penghargaan ini tidak ada manfaatnya untuk perjuangan Anda?
Saya tidak tahu. Mungkin kalau pun ada manfaat, saya merasa lebih banyak mudharatnya...(haha) Iklan partai itu itu adalah iklan politik elektoral, bukan perjuangan politik hak asasi manusia. Elektoral karena iklan dibuat untuk membangun pencitraan menjelang Pemilu 2009. Langkah ini prematur karena kontes Pemilu belum mulai. Iklan itu terbuai oleh asumsi yang lemah bahwa orang rindu akan Soeharto dan orang-orang ini bisa menjadi pemilih potensial. Padahal, masyarakat kita punya rasionalitas. Partai tak akan banyak berkembang jika cuma mengandalkan simbol figur tertentu. Partai harus mulai mengedepankan nilai, platform, manifesto atau ideologi. Kesetiaan pada nilai itulah yang dilihat pemilih.
Di masa Orde Baru, kita sering mendengar catatan pelanggaran HAM diumumkan setiap tahunnya, tetapi pasca reformasi justru tidak lagi luas pemberitaan mengenai ini, apakah semuanya memang sudah baik-baik saja?
Tentu tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Lihat saja begitu banyak masalah hak asasi manusia yang dikabarkan oleh media massa. Distribusi keadilan tak merata. Petani kesulitan mengakses tanah, anak-anak fakir miskin terlantar dan putus sekolah, diskriminasi perempuan, protes upah buruh berakhir dengan PHK sampai lumpur Lapindo. Meskipun begitu, saya tetap mensyukuri keadaan sekarang, daripada yang dulu. Kita punya kebebasan politik untuk memperjuangkan rakyat. Kebebasan sangat penting. Tanpa kebebasan, sulit mencapai hak-hak lainnya. Kekuasaan Negara tak lagi terpusat di tangan satu orang. Aksesibilitas politik lebih terbuka. Penggunaan kekerasan jauh berkurang. Kalopun masih ada represi, relatif terkontrol.
Dulu, yang namanya bunyi letusan senjata hampir tiap hari di Aceh. Tapi sekarang, berubah. Konflik bersenjata berakhir. Kehidupan mulai normal. Kekerasan memang tak hilang, tapi suasananya jauh lebih aman. Nah, pemerintah juga perlu mikirin gimana supaya perundingan damai Aceh dibawa ke Papua. Wilayah ini kaya sekali, tapi saudara kita di sana banyak yang hidup susah dan tak mendapat apa yang diharapkannya. Ini yang harus kita pikirin, bukan terus memenjarakan orang Papua karena pengibaran bendera. Ambil hikmah, bahwa bendera itu adalah pengingat agar kita lebih serius perhatikan orang asli Papua.
Dalam pergaulan dunia, Indonesia tak lagi menutup diri. Kalau dulu, pemerintah kita bersikap anti kritik, anti hukum HAM internasional, selalu merasa punya HAM sendiri, HAM-nya Asia, HAM-nya orang Timur. Padahal yang namanya manusia di manapun perlu hak yang sama dan sederajat karena diciptakan Tuhan Yang Esa. Nah, sikap itu berubah. Sepuluh tahun reformasi, sudah enam dari delapan instrumen HAM pokok diratifikasi. Mulai dari perlindungan bagi anak, anti diskriminasi terhadap perempuan, diskriminasi rasial, anti penyiksaan, dan dua kovenan induk untuk hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Yang belum adalah konvensi perlindungan buruh migran dan statuta pengadilan kejahatan internasional. Semua ini telah menjadi hukum kita. Tinggal bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Apakah masih ada penyiksaan, apakah masih ada orang yang dilarang memiliki keyakinan politik atau agamanya sendiri.
Hal apa yang menjadi catatan Anda dalam penegakan HAM di Indonesia pada tahun 2008?
Waduh, banyak banget. Kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani di Kendal, Blora Jawa Tengah sampai Bengkalis Riau. Masalah ini masih terus terjadi karena pemerintah terus menunda realisasi kebijakan agrarian untuk meredistribusi tanah delapan juta hektar. Belum lagi kasus salah tangkap, eksekusi hukuman mati. Akhir tahun 2008, banyak orang diPHK dan ini adalah persoalan HAM tersendiri yang serius.
Persoalan HAM paling menonjol di tahun 2008 adalah eksekusi mati terhadap 10 orang narapidana. Angka ini rekor tertinggi pasca Orde Baru. Padahal mayoritas Negara di dunia menghentikan eksekusi mati. Ini tanda bahwa ratifikasi konvensi internasional belum sepenuh hati. Contoh lainnya, ratifikasi Statuta Roma yang dijadwalkan tahun ini tak dilaksanakan. Meskipun tetap tak terlalu jelek karena Indonesia meratifikasi Piagam ASEAN menuju pembentukan Badan HAM ASEAN.
Tahun ini terjadi diskriminasi dalam memeluk agama. Negara lewat SKB tiga menteri melarang aktivitas organisasi Jamaah Ahmadiyah dan sempat memicu lahirnya tindak pemaksaan dan kekerasan. Keputusan semacam ini mengerosi kualitas kebebasan politik dan ruang dialog sosial masyarakat. Kekerasan terhadap aksi damai di Monas, pada 1 Juni 2008 adalah bentuk ketidaksiapan kelompok tertentu melihat perbedaan.
Di tahun 2008, banyak peraturan daerah yang terindikasi bertentangan dengan kepentingan umum atau undang-undang. Meski ada perda yang dibatalkan atau dalam proses dibatalkan, kita kemudian disibukkan lagi dengan munculnya produk hukum baru bermasalah. Undang-undang penanaman modal, mineral dan batu bara hingga undang-undang badan hukum pendidikan. Berbagai protes mahasiswa dan masyarakat diabaikan.
Sensitivitas dan inisiatif pemimpin politik negara melaksanakan aturan sesuai HAM belum maksimal. Ada gap antara peraturan dengan fungsi lembaga-lembaga negara di bidang hukum dan HAM. Aturan perlindungan saksi sudah dibuat 2006, komisionernya baru dipilih 2008 sehingga dampaknya belum terlihat. Banyak orang masih takut menjadi saksi. Pemimpin diam saja terhadap hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM. Komisi Yudisial tegang dengan Mahkamah Agung, BPK konflik dengan MA. Rencana revisi hukum pidana umum dan hukum pidana militer berakhir buntu di Pansus DPR.
Ketiga, penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat berjalan stagnan. Faktor penyebabnya, minimnya dukungan politik dari eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR RI). Presiden dengan kabinet kurang solid dalam menyikapi polemik kasus ini. Presiden saat menemui KontraS dengan perwakilan korban pelanggaran HAM masa lalu berjanji menggelar rapat kabinet khusus membahas kasus-kasus ini. Kenyataannya, janji ini tak terealisasi. Bagi kami, ini biasa terjadi selama 10 tahun reformasi, janji lalu tak ditepati. Masalahnya, Presiden SBY akan semakin terkesan tak punya kewibawaan di mata bawahannya saat mengucap janji.
Di tengah kondisi ini, Mahkamah Agung juga menolak gugatan kompensasi restitusi dan rehabilitasi para korban pelanggaran HAM di Tanjung Priok 1984. Persis seperti ketika gugatan korban Lapindo juga dikalahkan oleh pengadilan.
Ketiga, penyelesaian konflik secara damai dan bermartabat di Aceh masih belum menyentuh korban-korban konflik bersenjata. Bahkan menurut catatan Kontras Aceh, kekerasan masih kerap terjadi. Salah satunya peristiwa Atu Lintang, 5 dari 6 orang anggota Komite Peralihan Aceh tewas akibat penyerangan sekelompok orang tak dikenal.
Dalam menyelesaikan masalah Timor Timur, pemerintah berubah. Dulu selalu menolak bahwa yang terjadi di sana adalah konflik horizontal masyarakat. Sekarang, pemerintah mengakui telah terjadi crimes against humanity. Laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste menyimpulkan adanya tanggungjawab institusional militer. Sayangnya, kedua Negara ini tak berani memutuskan penuntutan kepada pelakunya. Secara politik, kasus ini diambil alih pemerintah. Tapi secara hukum, pengakuan crimes against humanity membuka peluang penuntutan pelaku di masa depan, tanpa batas waktu dan tidak bisa diamnesti.
Anda telah dikenal sebagai pejuang HAM sejak masih mahasiswa, apakah tidak lelah?
Jujur saja, pasti ada lelahnya lah.. Saya itu lumayan sering sakit dan keluar masuk rumah sakit dan juga akupunktur. Di saat-saat itu saya sadar bahwa mungkin saya kurang peka terhadap bagian-bagian penting di tubuh. Saya sering memaksanya terus bekerja tanpa kenal lelah dan terus berpikir mengikuti imajinasi dan keinginan. Padahal itu tak akan ada habisnya. Malah jika itu tak terkendali, manusia menjadi serakah. Mungkin ini dialami banyak orang. Kita lupa berterima kasih pada organ-organ tubuh, akal pikiran, tangan, kaki, sampai jantung. Kalau mengikuti keinginan terus, jadi repot. Seperti tidak menerima kenyataan.
Nah, saya punya cara untuk menenangkan batin saat berada dalam situasi itu. Dulu, sebelum meninggal, ibu saya adalah sumber energi untuk bangkit dari kelelahan. Bepergian bersama, shalat dan mengaji bersama atau sekadar obrolan lepas biasanya membuat saya lantas bugar lagi. Ada juga cara yang lain. Biasanya saya menemukan spirit pergerakan lagi saat bertemu teman-teman lama aktivis mahasiswa atau keluarga yang kehilangan anak-anaknya. Atau mungkin saat meluangkan waktu bermain musik sendirian seperti bermeditasi. Atau bermeditasi langsung dalam kesunyian. Waktu kecil, saya paling takut kalau sendirian di ruangan atau tempat yang sepi. Tapi sekarang malah menemukan kedamaian hati. Meskipun itu tak selalu mudah.
Hal apa yang pada awalnya menarik perhatian Anda terhadap permasalahan HAM?
Barangkali hal yang terjadi di sekitar keluarga orangtua di kampung. Mereka rata-rata bertani setiap hari, dan tradisi hidup itu sudah berlangsung turun temurun. Saat kecil saya melihat keadaan semacam ini sangat membahagiakan dan membanggakan. Tapi belakangan, setelah besar mulai terasa ada yang aneh. Mereka seperti kesulitan untuk menghidupi keluarga atau sanak famili. Padahal tanah yang mereka miliki tidak sedikit. Lebih tertarik lagi setelah saya belajar tentang hukum agraria di universitas Trisakti. Saya merasa ada begitu banyak persoalan tanah seperti di kampung saya. Mulai dari perjanjian bagi hasil yang tak menguntungkan bagi petani yang menggarap tanah sawah sampai dengan hilangnya akses petani atas lahan akibat keserakahan pelaku bisnis dan pelaku politik. Selama puluhan tahun, yang dipikirkan penguasa hanya keuntungan ekonomi sesaat lewat investasi asing. Pemerintah tak melindungi petani. Di tengah suasana bathin saat kuliah itulah terjadi penembakan mahasiswa di kampus, 12 Mei 1998. Ya sudah, makin jauh saya terlibat dalam pergulatan masalah hak asasi manusia.
Apa yang selalu menjadi keyakinan Anda, sehingga semangat Anda tidak pernah padam dalam hal ini?
Bahwa manusia pada dasarnya saling membutuhkan. Bahwa manusia jauh dari sempurna.
Semakin kita melihat kenyataan di berbagai tempat, semakin kita merasa tidak sempurna. Di tengah situasi itu, saya ingin merasakan kehadiran Tuhan. Kehadiran itu tak terasa saat saya hanya memikirkan diri sendiri. Atau tak peduli pada yang lemah. Keyakinan pada Tuhan itu hilang saat kita takut melawan pelanggar HAM, atau bahkan takut untuk sekadar menemani mereka yang lemah. Dengan menemani korban, memperjuangkan hak itu semampunya, saya merasa yakin apa yang saya lakukan ini adalah benar. Di situ saya merasakan kehadiranNya.
Begitu pula dengan kasus Munir, sepertinya Anda tidak pernah lelah mengusahakan kebenaran meskipun seringkali mentok dalam proses peradilan?
Benar, memang sulit jika kita menaruh harapan itu hanya ada peradilan. Sering mentok. Dalam dunia nyata kita, peradilan itu tak otomatis memberi keadilan. Socrates dulu seperti dipaksa pengadilan untuk menenggak racun hemlock. Ia seperti memilih bunuh diri. Satu pilihan tragis saat ia memperjuangkan budaya demokrasi di Athena. Ia tak menolak hukuman itu, tapi mematuhinya sebagai wujud ketaatan seorang warga atas keputusan pengadilan yang telah dijatuhkan kepada dirinya. Padahal Socrates paham betul bahwa vonis kepadanya telah menghilangkan unsur-unsur keadilan dan kebenaran, dengan lebih banyak memberikan putusan pada jenis pertimbangan yang keliru yakni menghabisi nyawanya sendiri. Nah, saya setuju dengan Socrates. Atau mungkin lebih tepatnya, saya tak ingin tragedi Socrates terulang dalam bentuknya yang lain di kasus Munir. Kita tak boleh menyerah pada putusan pengadilan yang membebaskan Muchdi. Karena itu bukan putusan yang adil. Tak ada fakta kebenaran yang kita dapat di balik pembunuhan Munir, selain kebenaran bahwa pengadilan ini berwawasan sempit dan gagal memahami denyut nadi keadilan yang menjadi tuntutan kita.
Sebenarnya fakta-fakta apa yang Anda miliki sehingga Anda begitu yakin memperjuangkannya?
Wah, pada awalnya malah tanpa fakta. Keyakinan itu timbul begitu saja, alamiah. Waktu itu, saya masih ingat betapa gelapnya kasus ini. Dari mana mulainya? Bayangkan saja, kematian Munir itu terjadi di dalam pesawat pemerintah dengan penerbangan internasional. Kematiannya misterius. Tanpa luka dan kekerasan. Ia hanya sempat terlihat sakit di atas pesawat, lalu tiba-tiba tidur dan tak bangun lagi menjelang mendarat. Tak ada yang bilang atau melihatnya dibunuh.
Itulah mengapa meski punya kecurigaan, kami tak menuding siapa pun. Upaya pencarian fakta kami lakukan sendiri, tanpa polisi dan jauh sebelum Presiden membentuk Tim Pencari Fakta. Kami datang ke Garuda, bertemu sejumlah pejabat dan karyawan Garuda. Semua orang yang kami temui tutup mulut. Tapi saya melihat sorot mata mereka banyak yang tak jujur. Sebagai karyawan, mungkin ada ketakutan tersendiri. Tapi untuk pejabat, saya yakin mereka sengaja menutupi. Sedikit demi sedikit mulai ada yang aneh.
Di situlah pertama kalinya kami punya kecurigaan terhadap orang Garuda, namanya Pollycarpus. Dilihat dari sosok, cara dan isi pembicaraannya orang ini bukan pilot murni. Tapi kecurigaan ini tak cukup. Perlu bukti yang kuat. Coba bayangkan, alat membunuhnya racun arsenik. Racun jenis ini tergolong kelas tinggi dan tak bisa ditemukan sembarangan. Tak berwarna, Tak berbau.
Lalu siapa yang bisa melihatnya? Setelah saya ikut delegasi kepolisian dan tim forensik ke Belanda, mulai banyak informasi masuk. Dari situ terus berkembang sampai kami menyimpulkan bahwa pembunuhan ini adalah pembunuhan konspirasi. Pelakunya dari pembunuh di TKP, pembantu di dalam Garuda, sampai operatornya yang ada di dalam Badan Intelijen Negara saat itu.
Sebagian besar fakta seperti dokumen, petunjuk dan saksi sudah terlihat di sidang kemarin kan. Terdakwanya Muchdi Pr, yang ditahan sejak Juni tahun lalu. Sayangnya, para saksi dari BIN takut sehingga mengubah kesaksiannya di depan pengadilan. Terdakwa Muchdi pun sama, tak berani mengakui terus terang apa yang terjadi. Kita lihat saja nanti bagaimana. Yang pasti kita tak bisa berhenti.
Mengapa bangsa Indonesia tidak boleh "lupa", bahwa kasus Munir belum terselesaikan?
Munir adalah pejuang, berani menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim. Dan banyak yang mengakui hal itu, baik kalangan pemerintah, militer maupun warga sipil biasa, baik di dalam maupun di luar negeri. Nah, dengan begitu maka pembunuhan terhadap seorang pejuang ini bisa menjadi ancaman bagi masa depan kehidupan kita, masa depan demokrasi, hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Pembunuhan ini juga bisa terjadi pada siapa saja, pada Munir, pada saya dan juga pada anda, pada siapa pun. Tugas kita adalah membuka semua tabir yang masih tersembunyi.
Kasus pembunuhan Munir bukan saja menunjukkan adanya konspirasi jahat yang begitu rapih dan terencana. Lebih dari itu, dalam konspirasi ini ada penyalahgunaan kekuasaan negara, dalam hal ini kekuasaan institusi intelejen, untuk mencapai tujuan kekuasaan tertentu dengan cara menghilangkan nyawa Munir. Komitmen untuk membongkarnya bukan saja dari kalangan masyarakat, tapi juga kalangan pemerintah, dari Presiden hingga DPR. Presiden menegaskan kasus ini adalah 'a test of our history' sebuah ujian bagi sejarah kita. DPR pun menyimpulkan ini sebagai kejahatan politik atau kekerasan negara.
Kini kita ditantang untuk melawan lupa. Melawan kebiadaban para pembunuh yang masih siap menerkam kita jika lengah. Kita ditantang untuk memenangkan pertarungan ini; melawan orang-orang yang telah menyakiti tubuh kemanusiaan entah atasnama apa. Mereka mencoba bersembunyi di balik topeng nasionalisme dan agama. JIka kita biarkan, berbahaya untuk masa depan anak cucu kita.
Muchdi PR akhirnya dibebaskan dalam kasus Munir dan Anda mengekspresikan kekecewaan besar terhadap ini. Sebenarnya bagaimana harapan Anda terhadap penanganan kasus ini?
Harapan saya penanganan kasus ini berakhir dengan terbukanya semua fakta yang merupakan kebenaran. Mengapa Munir dibunuh pada saat itu? Siapa saja yang terlibat dan mendalangi konspirasi jahat ini? JIka ini terungkap maka sejarah baru penegakkan keadilan bisa diciptakan untuk mewujudkan masa depan yang tanpa beban. Tentu saja mereka yang terlibat terutama yang mendalangi perbuatan pengecut ini bisa diadili dan mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Jawaban-jawaban yang jujur atas pertanyaan dan harapan inilah yang saya harapkan kelak diketahui oleh anak-anak kita dan anak-anak Munir, Alief dan Diva.
Di luar mereka, saya hanya berharap makin banyak yang berjuang menebarkan virus perdamaian dan anti kekerasan. Agar tak ada lagi orang yang dengan seenaknya menghilangkan nyawa orang lalu secara pengecut menyangkal segala bentuk perbuatan yang telah dilakukannya.
Apa langkah selanjutnya yang Kontras persiapkan?
Ada beberapa langkah yang kami persiapkan untuk membawa kembali Muchdi ke Pengadilan. Pertama, menggalang dukungan untuk mendorong terjadinya kasasi Jaksa ke Mahkamah Agung. Dalam hal ini kami berharap semua pihak, dari pimpinan pemerintahan seperti Presiden hingga kalangan Dewan Perwakilan Rakyat dapat mendukungnya.
Kedua, mengumpulkan bahan pendapat ahli hukum untuk menguji kualitas putusan hakim yang membebaskan Muchdi. Dalam hal ini kami sedang meminta beberapa lembaga independen seperti Komisi Yudisial dan Komnas HAM untuk turut berperan sesuai kewenangan masing-masing.
Ketiga, saat ini kami juga berkonsentrasi memeriksa kembali semua dokumen bukti, petunjuk dan saksi sekaligus mencari bukti-bukti tambahan melalui bantuan masyarakat. Kami membuka Pos Informasi Hotline di kantor kami. Targetnya adalah bukti baru. Langkah ini kami siapkan untuk mengantisipasi skenario buruk selanjutnya, seandainya upaya kasasi juga mengalami kegagalan. Jika berhasil, bukti ini pun tetap akan kami kembangkan agar proses hukumnya bisa menyentuh aktor utama di balik konspirasi pembunuhan Munir.
Jadi, kami tak akan tinggal diam apalagi menyerah. Kami ingin punya pemimpin yang berani menegakkan keadilan di rumah kita Indonesia.