Sunday, December 30, 2007
Membaca Djenar, Menonton Djenar
Saya mendatangi Gala Premiere film ini tanpa berharap apa-apa. Saya hanya mendatangi peluncuran sebuah film yang dibuat sahabat saya dan sekaligus pengarang favorit saya. Memang, sebagai pengarang karya seorang Djenar Maesa Ayu sudah tidak perlu diragukan. Meskipun telat memulainya, at the moment I read her first book, suddenly I felt in love with her short stories. Tetapi sebagai sutradara? Wah, saya tidak ingin mempertaruhkan selera untuk seorang sutradara debutan.
Mengikuti menit demi menit alur film ini. Saya mulai menumbuhkan kesukaan saya terhadap film ini. Storytelling-nya yang unik, elaborasi dan eskalasi konflik, perspektifnya, metafor-metafor yang digunakan dan plot twist di ujung film. Semuanya sangat menarik dan membangkitkan minat. Soal cerita (yang saya kira akan jadi keunggulan utama Djenar) meskipun menarik ternyata malah bukan daya tarik utama, karena memang diangkat dari dua cerpen yang sudah diterbitkan sebelumnya. Penonton disuguhi cerita yang sudah mereka tahu lewat bukunya, tapi tetap terpikat untuk menyaksikan kelanjutannya.
Yang paling menarik adalah Djenar menemukan bahasanya filmnya sendiri untuk berkomunikasi dengan penonton. Djenar berhasil menjabarkan premis, logika dan membangun metafor-metafor (serta menerjemahkannya pada penonton) lewat gaya bertutur khasnya sendiri. Menurut saya, hal ini murni hasil kreativitas Djenar dan tidak merujuk atau mengadopsi gaya-gaya tuturan yang sudah ada sebelumnya (terutama di film-film Barat). Bagi saya, menonton film ini persis semenarik membaca buku-buku Djenar.
Memang masih ada ketidaksempurnaan di sana-sini. Pengadeganan tampak masih terbata-bata, beberapa pemain pun tampak kurang menjiwai peranannya. Aktingnya juga agak kurang konsisten seperti Titi Sjuman yang masih suka turun naik eksotismenya. Beberapa pemain vital tampak kurang tepat dengan karakter yang dimainkan. Henidar Amroe misalnya, dia berakting sangat bagus, tetapi sejak awal film dia sudah tampak terlalu tua dan tidak bertambah umur saat semakin tua. Spirit kedivaannya pun kurang muncul, coba kalau Krisdayanti, Kinaryosih atau Titi DJ yang memerankannya, pasti jauh lebih masuk pada karakternya. Yang paling parah sih Arswendo Atmowiloto, duh! Kenapa tidak menggunakan aktor profesional saja sih untuk peran sekecil itu. Dalam soal casting, saya menangkap kesan kalau Djenar ingin memirip-miripkan pemainnya dengan "dirinya". Walaupun hal itu dibantahnya sendiri di akhir cerita.
Semua bisa termaklumkan karena ini memang film independen ber-budget terbatas. Andaikan film ini didukung modal yang kuat, pasti hasilnya akan jauh lebih bagus lagi. Dengan begini saja, saya sudah bisa keluar dari bioskop dengan sangat puas. Sayang sekali, film ini hanya akan diputar di sedikit bioskop saja, jaringan Blitz Megaplex. Jadi untuk kota-kota yang tidak memiliki jaringan Blitz Megaplex, sebaiknya menghubungi Intimasi Production kalau ingin mengadakan special screening.
Seorang sutradara hebat baru saja lahir di negeri kita. Semoga karya-karya besarnya masih akan terus bergulir membanjiri bioskop kita. Semoga semakin banyak kasus Hanung Brahmantyo, Joko Anwar atau Djenar Maesa Ayu di negeri kita. Orang-orang yang mampu memikat kita di dalam bioskop sejak karya pertamanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)